Senin, 26 Desember 2016

Harapan Bumi Nusantara



            Si Islam, si Kristen, Si Hindu. Label-label tersebut muncul dan secara tidak langsung berkesan diskriminatif. Tuhan telah menciptakan manusia dengan agamanya yang berbeda-beda di bumi ini. Namun sepertinya manusia salah dalam menjalin hubungannya dengan manusia lain yang tampak berbeda dengan dirinya.
            Saat ini lidah terasa kelu untuk mengucap “saudara” kepada sesama manusia. Namun mudah sekali untuk memendam benci dalam hati demi memperjuangkan kepentingan kelompok. Saat ini tangan terasa kaku untuk merangkul sesama manusia, namun terus menggandeng erat sesama kelompok demi menjatuhkan kelompok lain. Dan saat ini juga, penyempitan berpikir tengah meracun dan menolak segala gagasan yang bertolak belakang dengan pemikiran pribadi tanpa mau untuk menimbang kembali.
            Bentuk keegoisan tengah membutakan umat manusia. Maksud hati memberikan pembelaan terhadap kelompoknya, namun tak mampu menghindar dari konflik, kebencian, permusuhan, dan diskriminasi. Bahkan kata “maaf” tak lagi berharga sebelum lawan merasakan penderitaan. Lalu, bagaimanakah generasi-generasi selanjutnya akan hidup dengan doktrin-doktrin kebencian yang telah tertanam?
            Perbedaan akan agama merupakan salah satu anugerah Tuhan terindah di muka bumi di samping multikulturalisme. Kemajemukan agama-agama yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara telah menjadi sorotan dunia bahkan panutan akan toleransi yang terjalin di dalamnya. Terutama bagi negara-negara yang sedang mengalami krisis toleransi bahkan konflik keberagaman.
            Akhir-akhir ini konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) tengah menjadi perbincangan hangat di semua kalangan khususnya masyarakat Indonesia. Pembahasan agama menjadi topik sensitif yang perlu diperhatikan. Perlu diingat kembali bahwa perjuangan para founding fathers dalam menyatukan setiap umat beragama di Indonesia sangatlah memeras pikiran. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” telah mengalami perubahan yang lebih bersifat universal menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Perubahan tersebut secara otomatis telah menghilangkan sifat diskriminatif. Sehingga mampu untuk mencerminkan pluralitas di Indonesia.
            Setiap agama tentu bertujuan dalam kebaikan begitupun ajaran-ajarannya. Di samping itu setiap umat beragama tidak jarang akan menganggap bahwa agamanya adalah yang paling benar dibandingkan dengan agama yang lain. Sehingga apabila terdapat pergesekan yang melibatkan permasalahan agama, tak pelak memunculkan adanya konflik. Dan isu-isu seperti ini akan dengan mudah menjalar di kalangan masyarakat luas yang akhirnya memancing setiap kelompok beragama berbondong-bondong memberikan pembelaan kepada kelompok agamanya.
            Keegoisan, emosi sesaat, nafsu terkadang telah menutup hati dan mata sehingga tak mampu untuk melihat sisi yang lain. Perilaku-perilaku negatif hasil dari gejolak pribadi tak jarang menimbulkan efek anarkis yang merugikan setiap lini kehidupan. Manusia yang tidak tahu menahu menjadi korban, begitupun bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya turut terseret ke dalamnya akibat dari tindakan gegabah. Saat ini di mana krisis toleransi tengah menerjang sangat membutuhkan hadirnya para bijaksana, para pemikir luas, dan para adil untuk dapat menjadi panutan dan pembimbing masyarakat atas kebingungan yang terjadi. Masyarakat harus segera dipahamkan dan disadarkan akan kondisi bangsanya yang beranekaragam untuk dapat berintegrasi dan bergandengan tangan guna menciptakan kedamaian dan menjauhi saling hujat.
            Bangsa Indonesia sudah saatnya untuk unjuk gigi memberikan fakta terhadap toleransi keberagaman yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Bukan sekedar wacana yang diumbar pada khalayak dunia. Fenomena antara Palestina dan Israel, Aleppo, Suriah, dan negara-negara yang sedang mengalami konflik lainnya seharusnya telah memberikan gambaran jelas dan keras, bahwa membina perdamaian bukanlah hal mudah. Berharganya nilai nyawa setiap detik turut dipertaruhkan dengan harap cemas akan nasib nyawa di detik selanjutnya. Mencegah, menjaga, dan mengobati setiap kemungkinan konflik yang terjadi menjadi kewajiban bersama masyarakat Indonesia untuk mencapai kedamaian yang diidam-idamkan. Membuang segala keegoisan dan membalutnya dengan keikhlasan, kasih sayang dan cinta. Membuang prasangka-prasangka buruk dan benci dan menggantinya dengan prasangka baik dan suka. Percayalah akan segala kehendak Tuhan, dengan tetap menebar kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Harapan bumi Nusantara yang berpayung kedamaian dan cinta kasih pun akan terwujud.

 penulis : Widya Resti Oktaviana




1 komentar:

  1. Tulisannya sudah bagus. Akan lebih baik lagi jika diselingi sedikit nuansa sastrawi. Semangat belajar dan salam komunikasi☺

    BalasHapus