Senin, 20 Mei 2013

Cerpen - Ceker Ayam



Oleh Agus Setiadi, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik 2011 Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga

            Hidup yang semakin susah jangan dibuat susah. Itu prinsip yang dipegang Teguh dalam menjalani hidup. Piatu sejak kanak-kanak, ditingal merantau sang Ayah, dan hanya hidup dengan tiga adik, membuat Teguh bersikap lebih dewasa dari usianya. Seharusnya ia akan menjalani ujian akhir SMP. Terjadi kalau dulu selepas SD, dengan biaya yang tertatih-tatih sebelum Ayah memutuskan untuk meninggalkan keempat anaknya demi mencari kepingan rupiah, Teguh melanjutkan pendidikan ke SMP.
            Teguh masih mempunyai keinginan untuk sekolah hingga hampir tiga tahun ia lulus SD. Teguh berusaha berdamai dengan hatinya, dengan keadaan. Ia yakin suatu saat akan kembali melanjutkan pendidikannya. Satu prioritas Teguh saat ini adalah adik-adiknya tetap sekolah. Ridho, adik pertama kelas 5. Vita, adik kedua kelas 3 dan Fadhil si bungsu kelas 1. Setiap hari mereka hidup sederhana di tengah kesederhanaan. Entah adik-adik Teguh yang sudah mengerti keadaan, atau mungkin pemahaman itu datang sendiri, mereka tidak banyak meminta ini dan itu.
            Saat teman-teman lain seusia mereka mendapatkan barang yang menjadi impian, adik-adik Teguh tidak ikut latah karenanya. Mereka sama sekali tidak mengeluh. Tetap bermain dengan teman sebaya. Tidak pernah mengungkit-ungkit nasib mereka, bahkan tidak pernah menanyakan kapan Ayah pulang. Terakhir pertanyaan itu terlontar, sebulan setelah Ayah pergi ke pulau lain di negeri ini. Selama sebulan itu baik Ridho, Vita, maupun Fadhil selalu menanyakan kapan Ayah pulang. Hampir setiap hari dengan pertanyaan yang sama. Si bungsu lebih sering bertanya. Teguh dengan sabar menjelaskan kepada adik-adiknya. Ayah pasti pulang. Suatu saat nanti.
[]
            Tiga tahun berlalu dan Ayah belum sekalipun pulang menemui keempat anaknya. Hanya enam bulan pertama Ayah mengirimkan uang sekaligus surat yang menanyakan kabar Teguh dan adik-adiknya. Teguh sudah rindu sekali dengan Ayahnya. Ketiga Adiknya mungkin mempunyai rasa yang sama, hanya saja mereka ingin menjaga perasaan sang kakak yang berjuang sendiri demi mereka bertiga.
            Pagi itu mereka sarapan dengan taburan garam. Nasi yang tersisa hanya untuk mereka bertiga. Tanpa banyak kata, ketiga adik Teguh makan dengan lahap sebelum berangkat ke sekolah. Teguh tengah memotong-motong kayu bakar untuk dijual. Uangnya lumayan untuk membeli beras dan beberapa bungkus ikan asin. Ia sebenarnya lapar. Sejak kemarin siang sama sekali perutnya belum terisi. Kemarin Teguh hanya sempat makan pagi. Selebihnya ia memikirkan ketiga adiknya. Makanan pagi itu akhirnya habis juga. Makanan terakhir mereka. Teguh lebih baik tidak makan asalkan adik-adiknya tetap makan.
            “Kak, kami ke sekolah dulu ya.” Ridho berjalan mendekati Teguh yang tengah mengusap peluh di dahinya. Masih pagi tapi terasa panas bagi Teguh. Sudah sejak subuh Teguh berusaha mencari kayu bakar, memotongnya, dan saat matahari agak tinggi, kayu-kayu itu akan dijual ke pasar.
Ridho, Vita, dan Fadhil mencium punggung tangan Teguh. Rutinitas pamit setelah Ayah merantau. Mereka bertiga bersekolah di tempat yang sama. Berangkat ke sekolah bersama dan tidak meminta uang saku. Teguh ingin sekali memberi mereka uang saku, tapi ia sadar betul, tidak ada sekeping uang pun untuk bekal mereka selama di sekolah.
            Walau begitu, Teguh masih bersyukur mempunyai sepetak tanah kecil yang terdapat beberapa tanaman singkong dan tanaman lain yang entah apa namanya. Teguh sering memasak tanaman itu. membuatnya menjadi sayur menemani jamuan makan yang sederhana. Pagi itu cukup dengan garam saja karena Teguh belum sempat memasak untuk mereka.
            Kayu-kayu siap dijual. Teguh hanya perlu mengikatnya dan mengangkut menuju pasar yang terletak dua kilometer dari rumahnya yang sempit. Rumah yang terbuat dari bilik bambu dan penuh lubang, rumah sederhana yang agak jauh dari tetangga lainnya. Teguh melepas lelah sambil berusaha melupakan perutnya yang lapar.
            Sejenak Teguh melamun. Ingatannya kembali ke masa lalu, saat Ibu masih ada. Kehidupan mereka tetap sederhana, tapi kondisinya masih lebih baik. Ayah selalu ada untuk mereka. Bekerja setiap hari di kebun kecil mereka, menjual hasil kebun apa adanya. Teguh sudah terbiasa membantu Ayah di kebun dan mencari kayu bakar. Bekal yang membuat Teguh mampu bertahan hidup di tengah kesendirian kini.
            Ibu meninggal saat Teguh kelas 5. Ibu tidak sakit apa-apa. Ibu pergi begitu saja. Malam sebelumnya Ibu bahkan masih bersikap biasa. Tidak memerlihatkan perubahan atau keanehan apapun. Paginya, Ibu tertidur tanpa terbangun. Kehilangan yang membuat Teguh merasa sendirian. Rasa kehilangan untuk pertama kali.
            Tahun pertama kepergian Ibu, kehidupan berusaha berjalan senormal mungkin. Ayah tetap mengolah kebunnya, menjual kayu bakar, dan memberikan hasilnya untuk biaya sekolah anak-anaknya.
            Teguh akan menangis mengingat masa lalu itu. Masa sebelum Ayah pergi merantau dan Ibu pergi untuk selamanya. Teguh segera menyeka matanya yang mulai basah. Ia tidak akan membiarkan air mata keluar demi meratapi nasib hidup. Sesulit apapun hidup, Teguh tidak akan pernah menangis. Ia berjanji kepada dirinya sendiri. Lelaki tidak pernah menangis. Lelaki selalu kuat.
            Ketiga adik Teguh menyisakan sarapan mereka. Tiga piring yang tergeletak di atas meja, masih menyisakan sedikit nasi. Mereka sengaja tidak menghabiskannya. Teguh yakin mereka masih lapar. Nasi pagi itu terlalu sedikit. Teguh tidak keberatan dan rela mereka menghabiskan sarapan. Ia bisa makan nanti, setelah kayu bakar terjual. Teguh duduk di lantai. Meja rendah tanpa kursi. Teguh menyatukan sisa sarapan ketiga adiknya dalam satu piring. Cukup untuk mengganjal perut. Teguh berjanji setelah kayu bakar terjual, ia akan membelikan makanan yang sedikit lebih enak dari biasanya, demi sang adik. Teguh yakin kayu bakarnya kali akan terjual dengan harga yang cukup lumayan. Ia sudah mencarinya sebanyak yang ia bisa.
[]
            “Hanya segini Pak?”
            “Kau maunya berapa? Itu harga yang sesuai untuk kayu bakarmu.”
            “Tapi Pak…”
            “Ah, sudahlah. Pergi saja sana. Bilang sama orangtuamu, harga kayu bakar sekarang turun.”
Teguh menelan ludah dan memasukkan uang hasil kayu bakar ke dalam saku. Kayu bakar yang dibawa Teguh sedikit lebih banyak dari biasanya. Makanya ia yakin bisa menukarnya dengan uang yang sedikit lebih banyak. Teguh ingin membeli daging ayam. Walau hanya sedikit, yang penting Teguh bisa mempersembahkan makanan yang istimewa untuk ketiga adiknya. Selama ini mereka hanya makan nasi dengan ikan asin dan sayuran dari kebun kecil mereka. Teguh bahkan lupa kapan terakhir kali makan daging ayam.
            Uang hasil kayu bakar kali ini hanya cukup untuk membeli beras beberapa liter beras dan beberapa bungkus ikan asin. Belum cukup untuk membeli daging ayam, walau hanya sepotong paha saja. Teguh melihat penjual daging ayam yang tengah sibuk melayani pembeli. Ia menelan ludah. Ingin rasanya membeli sedikit daging itu.
            Uang hasil penjualan kayu bakar akan langsung habis jika digunakan untuk membeli sepotong daging. Lalu uang untuk membeli beras bagaimana? Teguh bimbang. Ia ingin membeli daging ayam untuk ketiga adiknya, namun ia juga butuh beras untuk makan hari ini. Teguh menarik napas memantapkan hati. Ia akan mencoba membeli daging ayam dengan uang di tangannya. Semoga saja masih ada sisa uang barang sedikit.
            “Bu, beli daging ayam,” kata Teguh sambil menyodorkan uang di tangannya.
Ibu itu menerima uang dari tangan Teguh dan menghitungnya.
            “Masih belum cukup Dik.”
            “Uang itu bisa dapat berapa, Bu?”
            “Wah… nggak bisa ya. Harga ayam sekarang naik. Apa-apa serba naik. Uang ini nggak cukup. Sepotong paha ini saja masih kurang,” kata Ibu Penjual Daging Ayam sambil menunjuk potongan kecil paha ayam.
            “Tapi Bu… saya ingin beli…”
            “Bilang sama ibumu, uangnya belum cukup.” Ibu itu kembali sibuk memotong daging ayam jualannya. Teguh menggenggam uang di tangannya sambil matanya terus menatap daging ayam itu. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin. Sudah saatnya gizi ketiga adiknya sedikit mendapat perbaikan. Hari ini harus makan daging.
            Teguh masih berdiri mematung menatap penjual ayam dari kejauhan. Pasar semakin ramai. Penjual daging ayam itu semakin ramai dikunjungi pembeli. Teguh kembali menelan ludah. Mengambil sepotong kecil daging ayam bukan masalah untuk Ibu itu. Teguh berjalan pelan mendekati penjual daging ayam. Menyelinap diam-diam dan bersiap mengambil sepotong ceker ayam yang tergeletak di dekat potongan-potongan daging ayam. Daripada dibuang, mending aku ambil.
            “Apa yang kau lakukan? Maling ya?” Ibu penjual daging ayam menangkap basah Teguh yang tengah mengangkat diam-diam sepotong ceker ayam.
            “Maling… maling… Ada maling…” Si Ibu berteriak-teriak. Refleks Teguh berlari sambil membawa sepotong kaki ayam di tangan. Pasar tumpah-ruah. Teguh berlari menembus keramaian. Teriakan Ibu penjual daging ayam membuat beberapa orang mengejar Teguh. Mereka juga berteriak sama.
            “Maling… maliiing…”
Teguh sudah berlari sekuat ia bisa, namun orang-orang dewasa yang mengejarnya berhasil menangkapnya. Tanpa dikomando, mereka, orang-orang dewasa itu, memukuli habis-habisan Teguh, remaja berusia 13 tahun bertubuh kurus. Teguh berusaha melindungi dirinya. Ia tetap menggenggam sepotong ceker ayam. Orang-orang dewasa itu begitu bersemangat menghajar remaja tanggung yang menanggung hidup tiga adiknya.
            Tubuhnya sakit. Tubuhnya perih. Darah mengalir dari pelipisnya. Teguh melihat Ibu. Ibu yang berdiri sambil tersenyum bercahaya.
            “Kemarilah Nak. Ibu rindu sekali padamu.”
Yogya, 23 April 2013

1 komentar: