Minggu, 21 Februari 2016

Elegi Indonesia Masa Kini

Gegap gempita dengungan terompet perayaan pesta tahun baru 2016 rasanya baru kemaren, setelahnya, di usia tahun baru yang masih belia, bangsa ini dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa yang mengerikan sekaligus mengejutkan dan menjengkelkan pula. Peristiwa itu berupa teror bom bunuh diri di Sarinah yang didalangi Negara islam di Irak dan Suriah dan aksi Ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) serta yang terbaru dengan munculnya trend di masyarakat tentang pasangan sesama jenis yang biasa disebut dengan  Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Sederetan peristiwa ini setidaknya mewakili wajah buram keadaan masayarakat Indonesia secara sosio-religiositas. Indonesia sebagai bangsa besar yang dibangun diatas pondasi keberagaman masih sangat rentan, belum ‘kebal’ terhadap virus-virus yang terus merongrong keharmonisan. Kedepan, selain konflik perbatasan dan kedaulatan bangsa, tantangan yang harus diwaspadai adalah konflik horisontal, yaitu terjadinya disharmonisasi antar masyarakat.

Apalagi di era virtual saat ini, melalui keramahan teknologi dan media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang budaya dan nilai baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Arus informasipun beredar dengan sangat cepat dalam dunia virtual, bahkan kecepatan informasi ini yang terkadang tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk menyerapnya, informasi datang begitu cepat, begitu gencar, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan kewalahan untuk dapat diserap oleh pikiran manusia (yasraf pilliang :Dunia yang dilipat : edisi ketiga 2011).

Padahal kita menyadari, belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa beradab harus berpijak, banjir informasi tentang agama dan budaya yang melaju bersama media atas nama globalisasi, tidak jarang membawa sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.

Maka jangan salahkan, jika paham-paham baru-aneh mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan, karena ladang basah lewat dunia virtual tumbuh dengan suburnya. kita pada akhirnya hanya bingung dan panik karena dunia bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan.

Indonesia Perahu Peradaban
Indonesia ibarat sebuah perahu, maka perahu ini berupa perahu peradaban yang terus mengapung ditengah-tengah samudra global, dengan gelombang-gelombang ganas yang siap menghantam. Tatanan budaya dan kearifan lokal yang sedikit demi sedikit mulai tergerus, ini seperti perahu mengapung yang dek nya sudah bocor dan tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, perahu yang kita tumpangi bernama Indonesia ini sedang diterjang, dihantam, diserang dan teromabang-ambing dilautan. Ketika perahu ini kehilangan kompas atau kaptennya gagal, maka kematian siap menjemput semua penumpang didalamnya.

Revolusi mental yang didengungkan sang kapten nyatanya belum cukup ampuh untuk membangkitkan jiwa kesadaran murni, apalagi dehumanisme yang terus menjalari nalar-nalar pikir masyarakat masa kini, kita di paksa untuk berseragam, tetapi keseragaman yang selalu ditawarkan hanyalah keseragaman sensual tanpa substansial. Maka jangan heran jika ukuran keshalehan saat ini hanyalah sesuatu yang tampak secara dohir, yang bisa melabeli identitas seseorang bertakwa sebatas pakaian, sorban, jidat hitam, bibir pucat mengaku puasa, sholat dimasjid yang megah, shodakoh yang di pamerkan, dan gelar haji yang ditonjolkan. Itu semua karena islam yang dianut masih sebatas islam label. Masih senang untuk dipuji, disanjung, dihormati, dicium tanganya, bahkan barangkali menginginkan juga semua fatwanya diamini layaknya nabi generasi kontemporer.

Kalau sekali saja kita mau merunduk, mencari
solusi bukan untuk mencaci maki, menghidupkan lagi ruang-ruang spiritual, petuah tentang moral kembali lagi diceritakan dan merangkul bukan untuk menyalahkan. Maka harmonisasi dan keselaran hidup masih akan kita wariskan untuk masa yang akan datang.

Harusnya masing-masing dari kita saling membahu menambal dek yang telah bocor itu, bukan mengumpat dan saling menyalahkan. Layar harus dikembangkan, mari malihat indahnya cakrawala sehingga perahu ini tidak kehilangan arah, karena sampai kapanpun perahu bernama Indonesia ini harus tetap berlayar mengarungi zaman dan melintasi samudra peradaban. Semoga! (crew)

Penulis: Ahmad Syarifudin

Senin, 15 Februari 2016

Apa gunanya kita duduk bersama?

“Apa gunanya kita duduk bersama? Kalau bercakap saja kita tak sempat”
   Tak jarang ini menjadi fenomena yang sangat biasa dimasa sekarang. Teknologi terus berkembang, kecerdasan manusia dalam mengembangkan teknologi semakin di atas rata-rata. Kadang sedikit miris, sebab yang dilakukan manusia berkat kecanggihan ini adalah sebuah kesalahfahaman. Bagaimana tidak? Teknologi dibuat untuk mempermudah setiap apa yang ingin kita lakukan. Tapi faktanya kita tidak memanfaatkannya untuk mempermudah malah untuk menyakiti. Ya menyakiti orang disekitar kita.
    Sedikit bercerita : waktu itu disebuah rumah makan, satu keluarga duduk melingkar dalam satu meja. Sepertinya keluarga yang lengkap, ada seorang ayah, seorang ibu dan tiga orang anak, dua diantaranya laki-laki yang sepertinya sedang beranjak remaja, dan sisanya adalah perempuan seumuran anak SD. Ada yang janggal dari forum keluarga itu, tidak ada percakapan sama sekali. Semuanya larut dalam sunyi. Mungkin orang akan berfikir itu adalah keluarga yang tidak harmonis. Tapi jika itu adalah keluarga yang tidak harmonis bagaimana mungkin mereka bisa duduk bersama dalam satu meja?. Sebetulnya bukan itu yang menyebabkan forum keluarga itu sunyi. Tapi ada sedikit yang mengganggu, yaitu gadget. Setiap anggota keluarga itu mengetuk-ngetuk gadgetnya masing-masing. Bahkan anak yang paling kecil (perempuan) itu sepertinya yang paling fokus. Sedikit heran, mengapa mereka bisa nyaman untuk tenggelam dalam suasana makan bersama tanpa percakapan itu?. Entahlah.
    Ada banyak pengalaman yang pasti orang lain pernah mengalaminya. Kita berada dalam satu tempat yang seharusnya percakapan itu menjadi sangat seru. Tapi kadang duduk bersama menjadi hal yang sangat membosankan atau bahkan menyakitkan. Kita mencoba membangun komunikasi tapi yang kita ajak berkomunikasi asik dengan urusannya bersama gadget. Kita berharap bisa tertawa bersama-sama tapi yang kita ajak tertawa bersama-sama malah tertawa sendiri bersama gadgetnya.
Tapi tunggu, kita tidak bisa semena-mena menyalahkan teknologi yang berkembang ini. Karna manfaatnya memang akan sangat terasa bagi yang benar-benar memanfaatkannya. Yang lebih tepat adalah penyalahgunaan perkembangan teknologi. Ya, ternyata tak hanya narkoba yang disalahgunakan, tapi juga perkembangan teknologi. Dampaknya adalah manusia mulai lupa bahwa mereka adalah mahkluk sosial yang akan selalu saling membutuhkan. Individualitas manusia terus meningkat. Sosial media adalah sahabat dekat manusia, mungkin kehidupan di dunia nyata akan segera tergantikan dengan kehidupan di dunia maya.
    Beberapa orang mungkin hanya lupa dan belum menyadari, bahwa betapa indahnya duduk bersama dengan percakapan yang tak terencana. Sebab untuk apa kita duduk bersama? Kalau bercakap saja kita tidak sempat.
    

Penulis : Alfy Inayati
 
   
   

Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Magelang bertambah

Magelang-Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Magelang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Adapun data dari tahun 2011 terdapat 4 orang, tahun 2012 ada 12 orang, tahun 2013 ada 47 orang, dan tahun 2015 kemarin mencapai 79 orang.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Magelang Hendarto mengatakan rata-rata penderita HIV/AIDS berasal dari warga rantau. "Tapi masyarakat Kabupaten Magelang sendiri tidak bisa dipungkiri juga ada," terangnya, Rabu (03/02/2016).

Akibat jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat, membuat Pemerintah Kabupaten Magelang mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait penanggulangan HIV/AIDS. "Diusulkannya Raperda supaya HIV/AIDS tidak terus menerus berkembang," jelas Hendarto.
Untuk mengantisipasi terjadinya jumlah penderita yang semakin bertambah, Dinkes akan membuka klinik IMS yang memeriksa penyakit menular karena seks dan klinik Visite yang melayani pengobatan pasien HIV/AIDS. "Selain itu tentunya kami juga bekerja sama dengan beberapa rumah sakit swasta di Kabupaten Magelang," lanjut Hendarto.

Terkait merebaknya penderita HIV/AIDS, Wulan selaku mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM) mengaku cemas terhadap perkembangan tersebut. "Ya semoga saja tahun ini Dinkes bisa mengatasi permasalahan tersebut secara optimal. Supaya tahun ini tidak terjadi peningkatan lagi." harapnya.

Kamis, 11 Februari 2016

Jadi Kampus Digital, UIN SUKA Tidak Becus

UIN-Permasalahan penginputan KRS (Kartu Rencana Studi) mahasiswa UIN Suka untuk semester ini, dapat dikatakan paling parah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya banyak mahasiswa mengeluh karena gagal login, tidak dapat membayar ukt, bahkan adanya perbedaan jadwal di jurusan dengan jadwal di SIA.

Untuk membantu mengatasi permsalahan tersebut, beberapa solusi pun telah dilakukan. Mulai dari perpanjangan penginputan KRS, dibuat web alternatif, dibuka posko KRS offline pada tanggal 9-10 februari, sampai pengunduran masa aktif kuliah selama satu minggu.

Wakil Dekan I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Lathiful Huluk mengatakan, masa aktif perkuliahan semester genap tahun akademik 2015/2016 yang direncanakan akan di mulai pada tanggal 9 februari, diundur sampai tanggal 15 februari. “Pemunduran masa aktif perkuliahan itu disebabkan beberapa pertimbangan. Belum semua mahasiswa bisa input KRS. Jadi itu akan mempersulit perkuliahan. Absesnsi juga belum bisa dicetak secara komplit. Jadi kita perpanjang dengan asumsi diadakan pengisisan KRS offline atau posko KRS untuk membantu mahasiswa,” terang Lathif,  Selasa (09/02/2016).

Bagi dia, perpanjangan hari libur ini juga merupakan solusi yang pasti harus dilakukan. Jika tidak diperpanjang, kuliah akan kacau dan mahasiwa yang belum input KRS juga akan dirugikan.
Berdasarkan  data dari PTIPD pada tanggal 5 februari, sudah ada 95 persen mahasiwa Fakultas Dakwah yang berhasil melakukan input KRS. Sayangnya, 95 persen itu belum tentu maksimal keseluruhannya. “Misalnya gini, mungkin ada satu mahasiswa yang sudah nginput satu mata kuliah, itu dianggap sudah nginput semuanya. Masalahnya begitu ya. Jadi ini 95 persen itu, belum tentu full dia sudah selesai KRS nya gitu,” jelas Lathif, disela-sela kegiatan nya mengurus posko KRS offline.

Presentase keberhasilan penginputan KRS Fakultas Dakwah sudah cukup memuaskan dibandingkan dengan fakultas lainnya. Di Fakultas Syariah dan Fakultas Sosial Humaniora (Soshum) misalnya. Baru berhasil melakukan input KRS sekitar 60 persen, bahkan kurang dari 50 persen.

Meskipun perkuliahan diundur selama satu minggu, hal itu tidak akan menggeser jadwal akademik lainnya, seperti pelaksanaan UTS atau pun UAS. Hanya saja, akan ada pemangkasan pelaksanaan UTS dari dua minggu menjadi satu minngu.

Lathif juga menuturkan beberapa manfaat bagi para dosen dan mahasiswa dengan diperpanjangnya hari libur ini. “Mahasiswa bisa menikmati liburan di rumah lebih panjang, lebih menyiapkan mental dan persiapan untuk kuliah. Bisa juga ke toko-toko buku yang ada, belajar tidak dibatasi dengan masuk kuliah. Belajar itu long life, seumur hidup dan sepanjang waktu. Perkuliahan bisa diundur tapi kalau belajar kan bisa dimana saja,” terangnya.

Bagi para dosen, perpanjangan hari libur ini juga dapat diamanfaatkan untuk melakukan penelitiaan, pengabdian masyarakat, membuat SAP dan bahan ajar, serta menyelesaikan tugas-tugas lainnya. Seperti yang dikatakan Lathif, satu minggu sebelum masuk perkuliahan, SAP harus selesai dan dikumpulkan tanggal 10 Februari. "Sehingga, esok ketika perkuliahan sudah dimulai, mahasiswa sudah mendapatkan SAP dan dapat melaksanakan perkuliahan dengan nyaman dan aman," ujarnya.

Ada dua faktor utama penyebab SIA error menurut informasi dari PTIPD, berdasarakan keterangan Lathif. Pertama, kapasitas web yang minim akibat dari kurangnya dana. Kedua, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).

Jika tahun-tahun sebelumnya ada relawan dari mahasiswa untuk membantu penginputan KRS, sejak januari lalu volunteer dari mahasiwa itu sudah tidak diperpanjang. Sementara petugas TU belum cukup memadai untuk melakukan tugas web. “Untuk tahun ini gak ada volunteer, mulai januari kemarin. Tapi, ini sudah diantisispasi untuk ke depannya. Jadi masalah-masalah ini akan diselesaikan,” tutur Lathif meyakinkan.

Dari keterangan yang disampaikan WD I bagian akademik, dan karut-marutnya problem yang terus terjadi tatkala mahasiswa melakukan penginputan KRS maupun pembayaran, jelas mengindikasikan bahwa UIN Sunan Kalijga ternyata belum siap untuk berevolusi menjadi kampus digital. Apalagi yang disampaikan WD I yang mengatakan bahwa UIN Suka kekurangan dana untuk proses drai itu seperti menabur garam diatas luka, lagi-lagi mahasiswa yang harus menelan pil pahit dan menjadi korban dari tidak becusnya pengoperasian sistem yang terkesan dipaksakan dan digampangkan.

Kedepan, UIN Suka melalui elemen terkait harus evaluasi dan melakukan banyak pembenahan, dan berharap menghasilkan solusi yang bijak, supaya mahasiswa dan stakeholder tidak dirugikan terus menerus. Jika kejadian dari tahun ketahun seperti ini terus, lantas kemudian sudah pantaskah UIN Suka disebut kampus digital?

Penulis: Minal_Fatihah

Rabu, 10 Februari 2016

TANAH AIR WARTAWAN

Dunia pers tidakakan lepas dari yang namanya wartawan. Di sana kita akan bergelut dengan ramainya halayak. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan kriminal. Semuanya akan terangkum dalam bingkai berita. Berita adalah suatu informasi yang bisa diketahui oleh halayak ramai. Dimana lakon yang mencari beritanya disebut wartawan. Dari segi bahasa, wartawan berasal dari kata warta dan wan. Dalam bahasa Jawa warta berarti berita. Jadi wartawan adalah orang yang berprofesi mencari berita. Julukan sebagai kuli tinta pun sempat tersematkan dalam eksistensinya bekerja. Jika dipersepsikan dewasa ini, julukan kuli tinta seolah terkesan negatif. Pekerjaan sebagai kuli bisa dibilang jenis pekerjaan untuk golongan menengah kebawah. Seolah-olah profesi ini hanya sekedar mencari dan menumpahkan tinta hitamnya di atas kertas putih. Tidak ada nilainya dibanding dengan pekerjaan yang lain.

Peran wartawan telah merangkum bukti sejarah berdirinya negara Indonesia. Berkat campur tangannya kepingan-kepingan sejarah yang berumur puluhan tahun masih tersimpan rapi di beberapa museum. Mereka juga telah memiliki beberapa media cetak, seperti surat kabar dan majalah. Sampai-sampai ada surat kabar yang ingin di bredel dari jam tayangnya. Hal ini dipicu dengan gagasan mereka yang tidak sejalan dengan penguasa. Kenekatan untuk mencoba berjalan mencari hak mereka ternyata harus dihadapi dengan pergulatan harga diri. Isu tersebut tentunya membuat prihatin akan nasib dunia penyiaran.

Paragraf di atas sudah mewakili sedikit gambaran seorang wartawan di masa orde baru. Kita tau bahwasannya kepemimpinan yang penuh otoriter tersebut, seolah menjadi momok bagi siapapun yang ingin terbang bebas saat ini. Negara Idonesia memang sudah merdeka dengan titelnya sebagai negara demokratis, tetapi pada prakteknya belum semuanya bisa terealisasi. Seperti bermain api di dalam sekam. Akhirnya bisa meledak kapan saja. Semuanya terkupas pada era reformasi. Para mahasiswa dari gabungan masing-masing universitas berkumpul menjadi satu dan menuntut akan hak kebebasannya. Sampai pada kebebasan pers bisa ikut mengudara. Meminta akan haknya untuk direalisasi.

Dengan adanya kebebasan pers wartawan bissa menggunakan hak dan menjalankan tugasnya sesuai tanggung jawab. Dimana di sana juga ada UU pers untu mengatur sepak terjang dalam dunia penyiaran. Bukan berarti wartawan bisa seenaknya untuk memberikan informasi, tetapi mereka dibekali pengetahuan dan ada kode etik masing-masing. Maka untuk sekarang ini instansi pers mensyaratkan S1 dalam proses perekrutan sebagai wartawan. Hal ini dijadikan patokan mengingat semakin cerdasnya masyarakat bertingkah laku.
Maka tingkat intelektualitas para wartawan pun juga harus mengimbanginya. Seorang wartawan tidak hanya sekedar mencari dan menyampaikan berita, tetapi seorang wartawan harus bisa menginspirasi masyarakatnya.

Menjadi wartawan bukan hanya dari lulusan komunikasi ataupun penyiaran saja, tetapi semua orang memiliki peluang untuk menggeluti profesi tersebut. Semuanya berawal dari belajar. Belajar mengetahui berbagai bidang untuk bahan yang akan di warta-kan. Mau tidak mau tuntutan, tekanan, aturan menjadi makanan setiap harinya. Suka duka wartawan ternyata juga menyelimuti dalam setiap aktivitasnya. Saat posisi mereka masih dalam tingkat profesi, peluang untuk memperjuangkan idealismenya masih terbuka lebar. Tetapi jika profesi itu sudah menjadi tuntutan, seperti tanggungan keluarga. Baik dari segi material atau keamanan. Dimana jika seorang kepala keluarga harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang sudah profesional gaji mereka mungkin sudah mencukupi, tetapi akan berbeda yang masih merasa kekurangan. Dari segi keamanan pun juga ikut menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan tindakan. Sudah menjadi rahasia umum jika seorang wartawan itu tidak pernah lepas dari yang namanya ancaman. Karena mereka berhadapan dengan berbagai banyak karakter masyarakat dan seorang wartawan yang akan menyiarkannya. Tentu narasumber menginginkan dimunculkan dalam kabar berita yang baik. Jika ternyata hasilnya tidak sesuai keinginan narasumber maka komplain pun tak bisa dihindari. Di sinilah pergulatan perasaan itu terjadi.  
Saat kita melihat sosok wartawan, persepsi pertama kali adalah terlihat  berwibawa dan penampilannya meyakinkan, itu bagi yang menilai positif. Tetapi jika yang memandang dari sudut negatif, maka wartawan itu sukanya main, berambut gondrong, tidak pernah mandi dan tampil apa adanya.

Sepasang mata boleh memberi pandangannya masing-masing. Jika para aktor ingin mendapat nilai plus maka tinggal berjalan sesuai kode etik dan berpenampilan sesuai karakternya. Hal ini bisa dilakukan oleh semua wartawan. Tatapi nilai plus yang berada di dalam jiwa wartawan dewasa ini apakah masih ada? Apakah dia ingin menjadi wartawan yang profesional atau sekedar wartawan abal-abal? Yang mau amplop sana sini. Hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama-sama. Dimana salah satu kode etik tersebut adalah wartawan harus menyampaikan berita sesuai fakta yang ada. Pastinya dengan ketentuan-ketentuan yang sudah tercantumkan. Maka kecerdasan dalam me-manajemenkan sangat diperluakan. Tidak cukup berfikir kritis dan matematis. Tugas apa yang diberikan dijalankan begitu saja, tanpa adanya korelasi dari sisi-sisi lain yang  sebenarnya masih ada peluang di sana. Maka yang benar-benar bekerja sesuai kode etik dengan dasar moral, di situlah hakekat wartawan yang sebenarnya. (crew)

Na’imatus Sa’diyah
Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin, 08 Februari 2016

Kiprah Kretek di Kota Budaya



S
eni dan budaya mempunyai peran masing-masing di setiap eksistensinya. Keberadaan keduanya dapat berdiri sendiri maupun saling berhubungan . Seni dengan segala macam jenisnya dapat digunakan untuk melestarikan budaya yang ada dan berkembang di masyarakat. Tari merupakan salah satu jenis macam kesenian yang bernilai tinggi baik dalam mengungkapkan sejarah, kritikan sosial, maupun representasi dari kebudayaan.


"Seni tari sendiri terbagi dalam tiga genre, diantaranya: tarian tradisional, tarian kreasi, dan tarian modern", terang Jannah, mahasiswi Fakultas Adab dan Seni Budaya UIN Sunan Kalijaga. Jannah juga menjelaskan, untuk genre tradisional, tarian yang disajikan lebih terikat dengan aturan atau harus pakem dengan jenis gerakan seperti mendak dan slow (khusus Jawa) serta bercerita tentang sesuatu. Sedangkan untuk modern, jenis gerakan yang dilakukan lebih enerjik, luwes, dan jarang ada mendak. Selanjutnya untuk kreasi sendiri merupakan akulturasi dari keduanya (tradisional dan modern).

 Terdapat contoh untuk masing-masing genre tarian, yaitu: tari kretek dan jaipong (tradisional), hip hop dance (modern) dan bianglala (kreasi). Tiap tarian biasanya mempunyai nilai-nilai tersendiri yang ingin disampaikan di setiap gerakannya. Tari kretek misalnya, adalah salah satu dari sekian banyak tarian tradisional di Indonesia yang berasal dari Kota Kudus. Tarian ini menjelaskan tentang bagaimana proses pembuatan rokok yang tiap tahap produksinya mempunyai pesan tertentu yang selalu dijaga dan dirawat keasliannya. "Melestarikan tradisi bukan untuk melemahkan budaya, akan tetapi untuk memperkaya budaya itu sendiri," ujar pelatih tari kretek ini.
Tari kretek bisa dipentaskan oleh minimal personil dua orang dengan wajib menyertakan satu penari laki-laki. "Pasalnya penari laki-laki disini wajib ada karena peranannya sebagai mandor yang mengawasi kerja para karyawan perempuan," tambah Jannah. Untuk durasi waktu, tari kretek membutuhkan sedikitnya 10 menit tergantung dari musik yang digunakan.

 Pementasan tari kretek ini menorehkan prestasinya saat diselenggarakan lomba menari di Universitas Gadjah Mada untuk kategori Best Costume dan Best Performence. Selain itu, tari kretek juga pernah dipentaskan saat Kalijaga Menari 2 dan pentas budaya IKPM se-Jateng. Di setiap pementasannya, tari kretek lumayan menyita perhatian para pengunjung dikarenakan dari segi penggunaan nama yang unik serta paduan kostum yang menarik. Aksen aksesoris yang beragam mulai dari caping, tampah, dan busana dhodhot khas perempuan Jawa pun ikut meramaikan pembawaan tari Kretek di setiap pementasannya. "Inilah salah satu persembahan dari kretek untuk memperbanyak rangkaian budaya di Kota Budaya ini" tambah Jannah di akhir wawancara.(crew).

Penulis: Dewi Maesaroh 

Minggu, 07 Februari 2016

Manusia Era Virtual

Globalisasi dalam era masyarakat kontemporer seperti saat ini, pada hakikatnya telah membawa nuansa budaya dan nilai baru yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui keramahan teknologi dan media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang budaya dan nilai baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal kita menyadari, belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa harus berpijak, banjir informasi tentang agama dan budaya yang melaju bersama media atas nama globalisasi, tidak jarang membawa sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.

Maka jangan salahkan, jika paham-paham baru-aneh mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan, karena ladang basah lewat dunia virtual tumbuh dengan suburnya. Masyarakat pada akhirnya hanya bingung dan panik karena dunia bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sebagian dengan adanya keramahan teknologi memang bisa mempercepat gerak melewati ruang-waktu yang dinamis, misal adanya media sosial, mampu mengikis jarak dan waktu. Akan tetapi kita tidak pernah tahu sampai dimana masyarakat mampu untuk memanfaatkan keramahan teknologi itu untuk sesuatu yang serba positif . Tanpa adanya filter manusia akan terjebak dalam dunia virtual, hubungan sosial kemasyarakatan yang ramah-suka bergotong royong akhirnya hanya menjadi cerita, karena sebagian mereka lebih asyik berbincang dalam grup medsos. Karena medsos berimplikasi mendatangkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Ini ironi!.

Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Dilipat: tamasya melampaui batas-batas kebudayaan menyindir kondisi ini dengan sangat pedas ‘Pelipatan ruang-waktu lewat perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, telah meningkatkan akan gaya hidup real time, yaitu gaya hidup yang mengharuskan segala sesuatu harus dilakukan lewat saluran virtual, sehingga itu dapat dilakukan dalam waktu keseketikaan, meskipun sebenarnya masih banyak sesuatu yang bisa dilakukan dalam dunia nyata (real-world)’.

Bukan hanya sebatas itu, yang paling miris ketika dunia virtual digunakan sebagai ajang penyebaran sampah seperti propaganda, adu domba, dan penyebaran paham. Masyarakat yang belum cukup cerdas untuk memilah-milah dalam mengkonsumsi apa yang disajikan globalisasi akan menjadi santapan empuk, yang pada akhirnya akan terbawa dan meyakini dengan begitu mudahnya. Seperti saat ini carut marut adanya banyak persoalan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini, tidak lepas dari dampak banjir informasi yang menghanyutkan.

Semua ini dilatar belakangi karena kecepatan, manusia zaman kontemporer sekarang ini selalu membutuhkan kecepatan-ketergesaan, yang pada akhirnya selalu menghadirkaan sesuatu yang instan. Arus informasipun beredar dengan sangat cepat dalam dunia virtual. Memang benar satu sisi baik, akan tetapi kecepatan informasi terkadang tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk menyerapnya, informasi datang begitu cepat, begitu gencar, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan kewalahan untuk dapat diserap oleh pikiran manusia. Dan anehnya meskipun banyak manusia yang mengeluh tetang kelebihan informasi (oversupply) manusia hari ini tetap saja menimbun informasi, terbukti dengan semakin gencar manusia menonton televisi, beli modem, selancar dalam internet, membaca berita online dan sebagainya, yang tujuanya untuk memastikan bahwa dia tidak ketinggalan informasi.

Padahal informasi yang datang begitu cepat tadi, sengaja datang instan, satu sama lainnya : berlomba untuk dapat perhatian secara cepat dan kilat, meskipun sesungguhnya informasi yang disajikan penuh dengan tipu daya-asal jadi, makin cepat makin baik, karena yang dikejar hanyalah ratting dan materi, tanpa mempedulikan kebenaran dan kejujuran nurani-menyedihkan.!

Pada akhirnya marilah kita nikmati kecepatan informasi dengan baik dan coba bijak dalam mengkonsumsi berbagai nutrisi yang disajikan globalisasi, tetapi tetap memiliki filter sebagai daya kontrol diri. Semoga! (crew).

Penulis: Ahmad Syarifudin
Kontak Facebook: Ahmad Syarifudin

Sabtu, 06 Februari 2016

Pilu (Sebuah Cerpen)

leh : Nurul Hidayati Yunaida
Waktu telah berjalan maju. Aku tak tahu lagi dengan apa yang aku lakukan. Jalan sudah kupilih, dan kini aku tinggal menjalani. Aku hidup dengan keluarga baruku yaitu istri dan anak-anakku. Sudah tiga tahun aku tak melihat sosok ayah, apalagi selepas tiga tahun yang lalu tentang kesalahan yang kulakukan hingga ayah murka. Aku tak bisa mengelak. Ayah begitu keras kepala hingga mengutukku sebagai anak tak tahu malu. Aku hanya diam membangkang dan pergi meninggalkannya.
Kini, ayah masih setia tinggal bersama ibu. Namun, ada hal yang tak bisa kulepaskan dari bayangan yakni bayangan kasih sayang seorang ibu. Aku rindu ibuku. Sempat teringat dibenakku sewaktu aku tak bisa mengikat tali sepatu, ibu yang pertama membantuku mengikatkan talinya. Hingga aku sering bawel karena lauknya kurang enak, tapi ibu tetap sabar, bahkan tanpa enggan ia menyuapiku tanpa ada mengeluh, apalagi memarahiku dengan kata-kata kasar. Aku sungguh rindu. Namun, saat ini aku enggan kembali ke rumah. Aku sudah punya kehidupan baru dengan keluarga baruku.
Meski sempat terngiang tentang tiga tahun silam yang memecah belah hatiku.  Ayah menolak aku menikahi Meida, perempuan pilihanku hanya karena status sosial. Aku tak bisa mengelak, ayah sungguh keras kepala. Yang ia tahu dimatanya hanyalah kepentingannya tanpa mengerti apa yang aku inginkan. Hingga aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan menikahi Meida tanpa persetujuannya.  Hanya ibu yang selalu memegangku untuk tidak pergi.
“Jangan pergi nak!” Air mata ibu meleleh. Aku hanya mencium pipinya dan memeluknya untuk terakhir kali saat itu. Ia adalah wanita yang sangat lembut dimataku.
“Maafkan aku ibu.” Aku pun turut menangis tersedu-sedu hingga sesak. Aku tak begitu tega melihat ibuku seperti ini, hanya saja aku tak bisa lagi. Aku berhak untuk memilih hidupku.
Aku memilih pergi dari rumah dan pergi sejauh mungkin dan menikah dengan Meida, perempuan yang telah aku nikahi saat itu dan akupun menetap di daerah cilacap. Aku hidup bersama istri dan kedua anak-anakku Mila dan Lathif, mereka adalah sosok malaikat kecilku.
***
Selang beberapa hari, adikku Lukman sering menelpon. Ia sering membujukku untuk pulang dan meminta maaf pada ayah. Tapi, rasanya semuanya sudah terlambat. Rasanya semua kan percuma setelah kuingat rasa sakitku dulu-dulu dan dianggap aku bukan termasuk lagi dalam daftar kelurga.
“Kak, tolong Kak pulang kerumah.” Bujukan Lukman sudah tak bisa lagi kuhiraukan.
“Maafkan aku, semuanya sudah terlambat.” Ucapku. Dalam hatiku aku tak tahan lagi mendengar adikku yang tanpa henti memohon-mohon padaku.
“Kak, tolong lah kak, apa kakak tidak rindu pada ibu? Ibu sering menangis terus selepas kepergian kakak, ayolah kak pulanglah sejenak walau hanya sehari.” Aku terdiam membisu setelah mendengar ibu menangis. Oh Tuhan, hal yang tak bisa aku hindari adalah sesosok ibu. Air mataku hanya menetes.
“Kak, kak tolonglah kak.... aku yakin kakak adalah sosok yang berhati lembut.” Lagi-lagi aku tak bisa berkutik. Ajakan Lukman membuatku semakin sesak.
“Sudahlah, semuanya sudah berakhir. Aku masih belum bisa.” Kataku tegas, meski rasanya hatiku perih bagaikan tersayat-sayat pisau.
“Kak, tolong kak. Dengarkan aku dulu. Tolong kakak maafkanlah ayah, lupakan  saja perkataan ayah yang dulu. Pulanglah! Keadaan ibu sekarang mulai melemah kak. Ia sekarang menjadi suka menagis terus. Apa kakak tidak kasihan kepada ibu? Selama ini ibu selalu menyayangimu kak... tolonglah kak. Kali ini saja kakak pulang walaupun hanya sehari untuk menjeguk ibu.”
Aku hanya bisa membisu dan menangis terisak. Dalam hati aku ingin pulang dan kembali melihat ibu. Tapi disisi lain rasa sakitku akan apa yang telah terjadi masih belum bisa kusembuhkan aku masih belum bisa memaafkan.
Sejenak kututup telpon adikku begitu saja tanpa memberikan salam.
Sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tak bisa begitu saja kembali. Dan hal yang menjadikan aku sedih, adalah aku masih belum bisa memaafkan.
                                   ***
Setahun kemudian. Lukman tak pernah memberikan kabar apapun tentang ayah dan ibu lewat telpon. Disatu sisi, aku lega tak ada yang membujukku kembali, tapi disisi lain firasat akan kecemasanku mulai timbul. Rasanya aku ingin tahu keadaan ayah dan ibu. Bagaimanakah keadaannya? Masih sehatkah mereka? Aku ingin pulag hanya saja, rasa gengsiku akan keputusan yang aku ambil. “Maafkan aku.” Gumamku lirih.
Keesokan harinya, shubuh-shubuh selepas aku melakukan ibadah sholat shubuh, bunyi ketukan pintu terdengar dibalik pintu rumahku. Aku sempat bingung shubuh-shubuh begini jarang-jarang ada orang bertamu, lalu seketika aku bergegas membukakan pintu. Aku terbelalak dan diam begitu saja. Seorang lelaki muda telah berdiri dihadapanku dengan mata sedikit sayu. Ia menangis dan tiba-tiba memelukku begitu saja.
“Kakak, pulanglah...” Lukman mencengkeram tubuhku begitu erat. Aku terheran dengan apa yang terjadi, hingga adikku datang ke rumah sepagi ini sambil menangis.
“Kakak, pulanglah... ayah dan ibu telah tiada.” Sekejab jantungku berdetak begitu cepat air mataku menetes deras. Benarkah dengan apa yang telah terjadi? Astaghfirullah! Kali ini aku merasa begitu menyesal. Aku peluk erat tubuh adikku, menyadari betapa jahatnya aku selama ini hingga tak mau menemui mereka, hanya karena menyimpan kebencian terlalu lama didada. Kali ini air mataku semakin deras membahasi pipi, dan aku sangat menyesal. (crew)

Penulis: Nurul Hidayati Yunaida
Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HP : 08972419616

Rabu, 03 Februari 2016

Sekolah Anak Pinggiran di Bantaran Gajah Wong

Jogja-Berawal dari kegelisahan terhadap nasib anak-anak miskin kota, Faiz Fakhrudin beserta komunitas anak jalanan mendirikan sekolah Gajah Wong. Sekolah untuk anak-anak pinggiran ini berlokasi di bantaran sungai Gajah Wong, warga ledhok Timoho, Muja Muju, Jogja.

Sekolah Gajah Wong didirikan sekitar  lima tahun silam oleh salah satu warga ledhok timoho yang prihatin oleh nasib pendidikan warganya. Sangat ironis sekali karena sekolah ini terletak persis di belakang perumahan dosen APMD. Ketimpangan sosialnya sangat kentara sekali.
“kami ingin memutus rantai kemiskinan. Salah satu cara yang bisa kami lakukan ya hanya ini. Membangun sekolah untuk anak-anak jalanan. Jangan sampai nasib mereka sama dengan orang tua mereka,” papar Faiz.

Sekolah ini memiliki lima guru inti yang setiap hari mengajar secara bergantian.  Karena keterbatasan ruangan, sekolah anak-anak bantaran sungai ini hanya memiliki dua ruang kelas. Kelas tersebut terbagi menjadi kelas akar dan rumput. Kelas akar dipeuntukkan bagi anak-anak usia tiga sampai lima tahun. Sedangkan kelas rumput berisi anak-anak usia lima sampai tujuh tahun.

Sistem kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran adalah hak anak.  Didalam hak anak terdapat hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak tumbuh kembang dan hak partisipasi. Faiz mengaku  bahwa sistem belajar di sekolah pinggir kali ini bersifat tematik. “Anak-anak disini belajar dari tema yang diangkat. Dengan tema tersebut anak bisa belajar banyak hal,” pungkas salah satu pendiri gajah wong ini.

Anak-anak yang bersekolah disini tidak dipungut biaya sepeser pun. Untuk dana operasional sekolah, Sekolah gajah wong memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Mereka memiliki peternakan kambing di belakang gedung sekolah. Selain itu Pengurus sekolah gajah wong juga melakukan bisnis menjual kaos kepada para pengunjung ataupun berjualan dengan online. Sumber dana yang terakhir adalah program sampah untuk anak.

Sampah dari masyarakat di donasikan  ke sekolah ini yang nantinya digunakan untuk media pembelajaran bagi anak.
Sayangnya pemerintah belum memperhatikan Sekolah anak-anak pinggiran ini. Selain itu sekolah ini juga belum memiliki donasi tetap. “ Pemerintah belum memperhatikan kami. Untuk membangun gedung ini saja kita harus bergotong royong swadaya dari masyarakat pinggir sungai,” kata Faiz di akhir perbincangan. (crew)

Penulis: Isti Khomalia
Kontak
Facebook: Isty Flo
Instagram: @hey_amazingisty

Gatot; Gagal Total atau Gatot Kaca?

Kata gatot tentu sudah tidak asing lagi bagi kita, baik oleh masyarakat awam maupun insan akademis. Saat pertama kali membaca atau mendengar kata “gatot” apa yang tergambar dibenak kalian? Istilah atau ungkapan karena gagal menjalankan misi “gagal total”, nama teman kalian, anak kalian, tetangga kalian, anak tetangga kalian, anak teman kalian, anak teman tetangga kalian, atau kalian ingat ‘gatot’ sebagai salah satu tokoh dalam cerita silam “gatot kaca”? atau mungkin kalian bakal langsung ngeh kalau gatot itu nama makanan?

Kalau salah satu dari hal itu ada yang tersirat dibenak kalian, itu membuktikan bahwa kalian orang Indonesia. Karena cuman di Indonesia penggunaan nama ‘unik’ itu diabadikan.
Tulisan ini bakal membahas ‘gatot’ sebagai nama makanan di Indonesia. Kalian tahu gatot? Kalau jawab nggak, itu nggak mengindikasikan kalian bukan orang Indonesia. Karena gatot memang makanan khas yang tidak semua orang bisa membuat, mencicipi, dan menyukainya. Karena itu gatot tidak akan ditemukan disembarang tempat di Indonesia.

Gatot merupakan makan khas warga Gunung Kidul, Yogyakarta yang terbuat dari Ubi Kayu. Berdasarkan bahan dasar dan proses pengolahannya, gatot memiliki saudara bernama tiwul. Untuk beberapa alasan mungkin tiwul lebih dikenal dari pada gatot. Nama gatot disematkan pada makanan ini karena kegagalan petani ketika mengolah ubi kayu menjadi gaplek. Tahu apa itu gaplek? Gaplek itu ubi kayu yang dijemur kering sebelum diubah menjadi tiwul atau tepung.  Ketika proses pen-jemur-an singkong, hujan turun sehingga muncul beberapa jamur dan makhluk mikroskopis lainnya pada singkong dan mereka menghitamkan singkong. Sedangkan singkong kering yang dibutuhkan adalah singkong berkualitas tinggi (berwarna putih) bukan yang berkualitas rendah (hitam). Berawal dari kegagalan inilah, makanan gatot ada sampai saat ini.
Menurut cerita yang berbeda, gatot ini merupakan hasil kegagalan petani memanen padi. Karena ketika itu sangat sulit mendapatkan makanan, akhirnya dibuatlah gatot. Ungkapan gagal total untuk kegiatan panen padi.


Kenapa makanan ini menjadi makanan khas gunung kidul? Karena tanah di gunung kidul tergolong sulit untuk ditumbuhi dan ubi kayu menjadi salah satu tumbuhan yang mampu bertahan hidup di lahan sulit tersebut. Dari segi tekstur, gatot yang berwarna hitam lebih kenyel-kenyel ketimbang yang kuning. Tekstur unik tersebut muncul berkat bantuan dari makhluk mikroskopis ketika proses penjemuran tadi. Karena terdapat jamur dan bakteri bukan berarti makanan ini berbahaya. Justru kalau ditilik kandungan karbohidrat dan manfaatnya gatot jauh lebih sehat ketimbang makanan cepat saji. Kalau masih ragu, buktikan saja sendiri. Konsumsi satu piring penuh, kalau kamu keracunan itu bukan salah makanannya tapi salah kamunya yang nggak mampu menawar racun. Masih ragu juga? Liat orang tua kita yang dulunya konsumsi tiwul, gatot mereka sakitnya diwaktu yang tepat. Tidak seperti generasi penerus ini. (itu karena kuman yang sudah berkembang). Bukannya sudah ada yang memberikan solusi untuk kuman yang berkembang. Kuman aja berkembang, kamu mau kalah sama kuman?
Oke, kembali ke Gatot.

Percaya ini, buat kalian yang mau diet makan aja gatot tiap hari. Gatot cuman singkong hitam yang dikukus. Jauh dari lemak jenuh, bisa menggantikan nasi. Mengkonsumsi gatot terbukti memberikan efek kenyang lebih lama, kaya karbohidrat, murah lagi. Untuk asin manisnya, itu disesuaikan selera masing-masing saja. Kalau suka asin, tambahkan garam. Kalau suka manis tambahkan gula. Kalau orang tua dulu sukanya yang tawar.

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, kalau enggak kenal gatot, ya enggak papa. Makanan ini memang populer untuk kalangan orang tua kita. Semenjak nasi dianggap sebagai panganan utama, kepopuleran gatot mulai menurun. Tempat paling mudah untuk menemukan gaplek saat ini adalah di pasar tradisional. Karena ini makanan khas Gunung Kidul DIY, tentu saja pasar tradisional yang dimaksud disini adalah wilayah DIY dan sekitarnya. Disarankan untuk membeli gaplek saja, jangan langsung gatot. Biar lebih berasa, disamping dapat disesuaikan dengan selera pribadi, juga bisa menikmati prosesnya. Karena kita bakal lebih menghargai karya kita sendiri.

Untuk proses pembuatannya sendiri, saya mengambil referensi dari keluarga yang kebetulan bisa membuat gatot. Proses ini pun dimulai dari ubi dalam bentuk gaplek, sehingga proses yang harus dilewati hanya merendam. Tidak harus menjemur dan menghujan-hujani ubi agar tumbuh jamur.

Pertama gaplek direndam dalam air selama 3-4 hari, tujuannya untuk membersihkan gaplek. Air rendaman pun harus diganti setiap harinya. Proses selanjutnya bisa dilakukan jika gaplek sudah lebih mengembang atau mendekati bentuk semula singkong mentah. Setelah itu potong kecil-kecil. Tidak harus menggunakan pisau, cukup di tugel-tugel menggunakan tangan. Karena terkadang sesuatu yang tidak rapi itu lebih menarik :D
Setelah dipotong-potong, gaplek siap dikukus.

Untuk mengkukus sendiri tidak ditakarkan berapa waktunya, yang terpenting gaplek sudah bertekstur lembut dan kenyal. Untuk sentuhan terakhir jangan lupa ditambahkan parutan kelapa. Selain menambah kecantikan gatot, juga memberikan rasa gurih disetiap gigitannya :D. Untuk catatan terakhir, gula dan garam ditambahkan ketitka gaplek sudah menjadi gatot atau ketika ingin mengkonsumsinya. Jangan ditambahkan saat mengkukus. Karena rasa asin dan manis hanya menjadi bagian pelengkap selera.

Sekian tentang gatot, kalau belum pernah mencicipi monggo dicicip. Cobalah untuk mencintai produk dalam negeri. Kala kamu enggak suka rasanya, terus cicipi. Temukan alasan kenapa sebuah makanan bisa menjadi makanan favorit bahkan ciri khas suatu daerah. Tidak perlu mahal untuk sesuatu yang aneh. (crew)



Sekian dari saya
Windi Meilita
Kontak Facebook: Windi Meilita

Selasa, 02 Februari 2016

Intelektualisme: mikir, mikir, dan mikir

Ing ngarso suntuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini perilaku seseorang sering kali dipegaruhi oleh perkembangan teknologi yang ada. Banyak dari mereka yang terbuai oleh teknologi dan informasi yang sudah semakin canggih sehingga mereka tidak memperhatikan aspek aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, pentingnya sosialisasi dengan orang lain dan lain sebagainya. Dewasa ini teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia justru sebaliknya manusia lah yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Inilah potret kehidupan saat ini manusia sering kali melihat dari sisi apa yang sudah mereka hasilkan bukan pada sisi apa yang sudah mereka kerjakan. Bukan menghargai proses tetapi lebih melihat ke hasilnya. Dalam zamaan globalisasi ini manusia semakin individualistik lebih mementingkan dirinya seniri daripada orang lain. Ironis sekali memang melihat kenyataan yang ada saat ini kita bisa mengakses semua informasi, kita bisa mendapatkan informasi dari berbagai penjuru dunia ini. Namun, mereka tidak memperhatikan apa yang ada disekitar mereka. Lebih dari itu, kegandrungan akan teknologi juga membuat manusia asyik dan terpesona dengan penemuan penemuan baru yang dihasilkan oleh teknologi yang semakin canggih. Disinilah peran dari pendidikan itu sangat dibutuhkan bagaimana menyeimbangkan antara kehidupan yang individualistik dan kehidupan individu dalam bermasyarakat dapat seimbang. Memang diperlukan sebuah pendidikan yang bersifat humanis dan berbudaya. Jika belajar dari Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik asli Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang humanis diperlukan daya cipta, rasa, dan karsa. Atau lebih kerennya lagi yaitu educated the head, the heart, and the hand. Menurutnya seseorang mempunyai daya rasa cipta, rasa, dan karsa itu. Pengembangan kemampuan yang hanya menitikberatkan pada salah satu sisi saja hanya akan membuat seseorang “gagal menjadi manusia”. Pendidikan yang hanya menuntut keberhasilan secara intelektual saya yakin hanya akan membuat peserta didik semakin jauh dengan masyarakat. Bahkan Ki Hajar Dewantara sangat tegas menolak pendidikan yang hanya mementingkan intelektualisme dan mengesampingkan aspek kerohanian saja. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan  kita bagaimana bisa “memanusiakan manusia”.

Jika melihat sejarah pendidikan Indonesia kebelakang. Pada dekade 70-an Indonesia pernah menunjukan tajinya. Iya pada dekade tesebut kurikulum “made in Indonesia” pernah dipekerjakan di Malaysia dan hasilnya luar biasa Malaysia berhasil. Malaysia pernah medatangkan dosen ataupun guru dari Indonesia untuk “membantu” dunia pendidikan mereka. Sampai pada akhirnya mereka memberikan label untuk dirinya sendiri sebagai “Malaysia is truly of asia”. Akan tetapi mengapa justru di negaranya sendiri pendidikan Indonesia terus mengalami kemunduran?. Pendidikan memang pada hakikatnya tidak hanya sekedar proses belajar dan mengajar saja akan tetapi juga menjadi sebuah proses untuk membuat manusia semakin manusia bukan sebagai“kelinci percobaan” yang jika bagus dilanjutkan dan jika gagal maka akan diberhentikan. Bukankan diperlukan waktu satu generasi untuk dapat melihat apakah pendidikan itu berhasil atau tidak?. Pendidikan haruslah menjadi sebuah wadah untuk dapat membuat seseorang dapat mengerti apa yang jelek dan apa yang baik, apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi kewajibannya.

Berbicara mengenai pendidikan tentu hal yang tak lupa untuk dibahas adalah peran dari pendidik itu sendiri. Seperti orang jawa bilag guru “digugu lan ditiru” harusnya benar menjadi sebuah realita untuk para guru di Indonesia, bukan hanya sebagai ucapan yang berlalu begitu saja. Guru sebagai model atau contoh keteladan haruslah benar benar dilakksanakan sebelum menjadi fasilitator pendidikan mereka laksanakan. Para pendidik haruslah mempunyai kelebihan dalam bidang keagamaan artinya sisi spiritual mereka haruslah tinggi sehingga mereka dapat mendidik anak bangsa yang dikatakan mengalami degradasi moral bukan malah ikut-ikutan terkena dampak degradasi moral. Iyah degradasi moral tidak hanya dirasakan oleh peserta didiknya saja tapi mereka para pendidik juga ikut-ikut mencicipi degradasi moral itu. Banyak contoh akhir-akhir ini yang bisa membuat kita terheran heran mengapa begitu? Sekolah yang harusnya menjadi tempat ke dua setelah “sekolah ibu” justru menjadi momok menakutkan untuk para siswa, kasus guru agama mencabuli siswanya, kasus seorang guru yang melakukan kekerasan terhadap siswanya dan masih banyak kasus-kasus miris yang sering kita tonton bersama-sama. Jika kita membahas Lebih lanjut lagi, maka kita akan mendapati istilah “sekolah penjara”. Apa itu sekolah penjara? sekolah penjara adalah istilah yang sering digunakan oleh seorang siswa yang mempunyai perasaan takut untuk masuk sekolah. Bukan karena mereka sakit sehingga tidak bisa masuk sekolah bukan, bukan itu yang mereka maksud. Mereka menamai sekolah penjara karena mereka sering mendapat seperti “ancaman”. Bisa saya ambil contoh seperti ini ketika seorang guru mengatakan kepada siswanya “besok pokoknya semua harus hafal kalau tidak hafal ibu hukum kalian lari lapangan 10 kali misalnya. Aduh macam mana ini, saya merasa “ancaman” seperti inilah yang membuat mereka merasa takut untuk masuk sekolah. Jam tujuh pagi adalaah jam yang menakutkan untuk paara siswa, mereka seakan akan tidak mempunyai semangat lagi untuk masuk sekolah jika mereka harus bertemu guru guru seperti ini. Mereka akan takut jika mereka harus dipertemukan dengan guru guru killer yang mnurut mereka lebih baik bunuh saja aku, daripada harus bertemu dengan guru killer. Sehingga sering kali mereka memberikan julukan julukan yang “nyleneh” untuk guru guru mereka seperti memberi nama “sumanto” meskipun itu bukan namanya, mereka menamai dengan sebutan itu karena terlalu killernya guru itu. Mereka menjadikan hal hal seperti ini untuk “pelampiasan” kemarahan mereka. Memang salah apa yang dilakukan oleh siswa tersebut namun jika melihat penyebabnya apa ini salah mereka sepenuhnya?. Sekolah seharusnya didesain untuk membuat para siswanya merasa aman dan nyaman. Memang benar guru guru yang killer tersebut hanya untuk membuat siswanya lebih disiplin. Namun, harus kita tahu bahwa tidak semua siswa mau untuk “dikerasi”. Disinilah memanusiakan manusia harus bisa dilakukan. Bukan seperti sekolah yang peserta didiknya tidak diikutkan dalam proses belajar mengajar. Peserta didik hanya disuruh duduk dari jam tujuh pagi bahkan sampai nanti jam dua siang. Dimana partisipasinya jikalau mereka tidak pernah diajak untuk aktif dalam proses belajar mengajar itu. Sehingga para siswa akan merasakan kejenuhan ketika mereka berada dalam kelas. Maka tak heran bila mereka selalu bersemangat ketika mereka mendengar bunyi bel iyah bel istirahat dan bel tanda pulang lah yang menjadi favorit para siswa di Indonesia.

Semua Negara didunia ini sadar betul bahwa pendidikan adalah cara yang paling efektif untuk memajukan warga negaranya. Jika memang betul begitu adanya seharusnya semua masyarakat di Indonesia ini sadar betul akan pentingnya pendidikan. Bukan hanya sekedar mengejar ijazah tapi dari sekolah kita akan mendapatkan sebuah teori-teori yang dapat kita gunakan dalam sehari-hari. Namun, bagaimana mungkin itu kita dapatkan jika dunia pendidikan kita seperti ini. Membicarakan tentang pendidikan tentu tak akan pernah ada habisnya selalu ada sisi menarik yang membuat kita bersemangat untuk mengulik apa saja yang menjadi permasalahan pendidikan kita ini. Dari semua komentar jikalau kita menanyakan mengenai “apa yang salah dari pendidikan Indonesia” tentu kita serempak untuk menjawab pendidikan Indonesia kurang humanis. Iyah itulah yang menjadi salah satu sebab dari sekian banyak catatan hitam dunia pendidikan kita ini. Memanusiakan manusia memang menjadi persoalan serius dinegeri ini. Namun, apakah namanya soal jika kita tidak bisa menemukan jawabannya?. Persoalan pelik dunia pendidikan ini seharusnya dicari akarnya, masalah memanusiakan manusia belum tuntas benar kita sudah dihadapkan engan persoalan pemerataan. Bukan rahasia umum lagi jika pendidikan Indonesia belum merata. Jika dikota pendidikan tiap hari selalu menujukkan perkembangannya lalu apa kabar mereka yang ada dpelosok negeri ini? sudah kah mereka mendapatkan pendidikan yang layak, sudahkan mereka diajar oleh guru yang profesional, sudahkah mereka mendapatkan buku pelajaran yang memadai, sudahkah mereka mendapatkan ruang kelas yang nyaman?. Tentu pertanyaan pertanyaan tersebut selalu hinggap dipikiran pikiran kita semua.

Dari pandangan sosio-antropologis kekhasan yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah manusia itu lebih berbudaya, sedangkan manusia lainnya tidak berbudaya. Maka benar jika banyak orag mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk memanusiakan manusia adalah lewat kebudayaan. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda karena budaya lahir dalam suatu masyarakat dan menjadi dentitas dari masyarakat itu sendiri maka tak heran jika budaya itu berbeda-beda lain masyarakat lain lagi budayanya. Manusia akan menjadi benar benar manusia jika mereka hidup dalam budayanya sendiri. Pendidikan dan budaya memang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa di pisahkan begitu saja. Pendidikan diharapkan mampu “menggandeng” kebudayaan agar dapat saling bersinergi satu sama lain. Indonesia adalah salah satu Negara yang masih berjuang untuk dapat dikategorikan sebagai Negara maju. Memang Indonesia masih butuh proses panjang untuk bisa masuk dalam kategori Negara maju tersebut. Banyak yang meragukan bahkan mereka pesimis Indonesia bisa menjadi Negara maju. Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih menjadi Negara berkembang salah satunya adalah karena Indonesia ini masih terlalu dimanjakan oleh alam yang melimpah ruah. Seperti layaknya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh salah satu musisi Indonesia “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” karena begitu suburnya tanah di negeri ini sehingga membuat semua tanaman dapat tumbuh di tanah Indonesia. Namun, hal itulah yang membuat anak negeri ini terlalu santai, banyak sekali anak anak yang putus sekolah bukan karena tidak mampu bukan itu mereka putus sekolah karena mereka akan mengurusi sawah yang mereka punyai. Mengandalkan alam seperti itulah mereka bukanya bagaimana memikirkan sekolah mereka justru terbuai oleh alam boleh jika itu semua mereka lakukan jika sawah itu memang sudah menjadi kepunyaanya sendir akan tetapi jika itu milik orang tuanya lalu akan seperti apa? Atau lebh pahitnya lagi jika sawah itu adalah milik orang lain dan mereka hanya dipercaya untuk merawatnya. Alam memang menjanjikan jika memang dapat diolah dengan baik akan tetapi jika tidak diolah dengan baik hasilnya justru akan merugikan kita sendiri. Pendidikan dan kebudayaan seharusnya memang harus seperti simbiolis mutualisme yang sama sama saling menguntungkan. Pendidikan haruslah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat lebih bersifat humanis berkaitan dengan kehidupan sehari hari sehingga lmu yang sudah mereka ajarkan benar-benar dapat diaplikasikan dan dibutuhkan di kehidupan nyata. Dengan demikian pendidikan dapat bersatu padu dengan kebudayaan yang ada dimasyarakat sehingga bisa menghasilkan sebuah harmonisasi yang indah antara keduanya.

Jika Indonesia memang menginginkan sebuah revolusi pendidikan maka seharusnya revolusi itu harus benar-benar menjadi sebuah realita bukan hanya sekedar retorika belaka. Revolusi membutuhkan komitmen yang serius bagi semua unsur yang ada di dunia pendidikan ini tidak hanya peserta didik saja yang berrevolusi tapi semua orang ataupun lembaga yang ikut terlibat didalamnya mulai dari menteri pendidikan, mereka yang berwenang dalam membuat sebuah kebijakan, pendidik, sampai peserta didiknya itu sendiri. Semua lapisan harus bekerja ekstra untuk kemajuan pendidikan kita sehingga tidak ada lagi sikap apatis dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab dengan pendidikan negeri ini. Indonesia memang masih butuh perjalanan yang panjang, masih harus menaiki ribuan anak tangga hingga kita dapat berdiri tegak di puncak kejayaan. Memang data yang dihimpun oleh Dirjen LPS Dikdasmen yang menyatakan bahwa masih ada lebih dari 16 juta WNI diatas umur 10 tahun yang masih belum melek huruf itu artinya masih terdapat pekerjaan rumah yang menanti yang harus kita perhatikan secara serius belum lagi masalah infrastruktur yang sering sekali kita dengar beritanya atau justru malah daerah kita yang menjadi korban dari kebobrokan infrastruktur sekolah, bangunan yang ambruk, genteng yang pecah, tembok yang retak sampai pada kasus tidak punya bangunan sekolah sehingga mereka harus menumpang dirumah warga. Bahkan kasus yang dialami oleh pendidiknya pun mendapatkan sorotan yang tajam kasus guru mencabuli siswanya, kasus guru melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta didiknya, dan masih banyak kasus-kasus lain yang mungkin pernah kita tonton. “pahlawan tanpa tanda jasa” memang sudah susah disematkan untuk para pendidik negeri ini banyak dari mereka yang meminta sertifikasi sampai menuntu untuk diangkat menjadi PNS. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia justru mereka malah menuntut peningkatan kualitas pribadi mereka. Ironis memang melihat kenyataan yang kita hadapi saat ini , sejarah telah membuktikan Indonesia pernah menjadi percontohan di bidang pendidikan untuk kawasan ASEAN, harus menjadi pencundang dalam hal mutu pendidikan. Banyak sekali potret kehidupan pedidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini terus merebak ke permukaan. Catatan catatan hitam pendidikan di Indonesia akhrnya terbuka bebas. Kenapa lagi kalau bukan karena peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Dalam Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 mei kemaren memang menjadi momentum untuk mengulik permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Pada akhirnya pendidikan yang memanusiakan manusia lah yang selalu mereka harapkan. Iya, masih dalam rangka semangat Hardiknas mari kita sama-sama saling bahu membahu untuk kemajuan pendidikan di tanah air Indonesia ini berhenti untuk selalu saling lempar tanggung jawab dan saling salah menyalahkan. Masih banyak generasi penerus bangsa yang berprestasi dalam arti sesungguhnya. Memang benar Indonesia belum kalah tetangga kita Vietnam mampu “berdiri tegak” meskipun barusan saja pada tahun 1975-an “bertinju” dengan Amerika sehingga saat ini mampu dijadikan impor beras bangsa Indonesia. Malaysia yang memberi label untuk Negaranya sendiri “we are truly asia” setelah hampir 3 daawarsa berguru dengan kita, tapi kenapa Indonesia yang sudah hampir 70 tahun merdeka masih jalan ditempat?.

Akan tetapi, jika kita melihat dari sisi lain bangsa Indonesia harus bangga dengan mereka para anak negeri yang masih peduli dengan pendidikan Indonesia. Banyak sekali dari mereka yang kemudian membuat sebuah gerakan untuk membantu memberikan pendidikan untuk mereka yang berada dipelosok negeri ini sebut saja gerakan 1000 guru, komunitas nama, Indonesia mengajar dan masih banyak lagi komunitas maupun gerakan lainya. Sekali lagi masih dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional semoga pendidikan di Indonesia kembali menunjukkan taringnya di kawasan asia tenggara sehingga kita bisa menjuluki Indonesia dengan sebutan “the lion of asia”. Aku masih percaya akan adanya perubahan perubahan itu. Jika dahulu presiden Soekarno menyebutkan “berikan aku 10 pemuda niscaya akan aku guncangkan dunia ini” aku masih percaya bahwa pemuda yang diharapkan Soekarno itu masih ada dan kini sedang belajar agar bisa menjadi pemuda seperti yang harapkan oleh Soekarno. Maju terus pendidikan Indonesia!!! (crew)

Penulis: Ulfa Anjarwati
IG @ulfa_anjarwati
Twitter @ulfaanjarwati
Fb ulfaa anjarwati