Rabu, 10 Februari 2016

TANAH AIR WARTAWAN

Dunia pers tidakakan lepas dari yang namanya wartawan. Di sana kita akan bergelut dengan ramainya halayak. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan kriminal. Semuanya akan terangkum dalam bingkai berita. Berita adalah suatu informasi yang bisa diketahui oleh halayak ramai. Dimana lakon yang mencari beritanya disebut wartawan. Dari segi bahasa, wartawan berasal dari kata warta dan wan. Dalam bahasa Jawa warta berarti berita. Jadi wartawan adalah orang yang berprofesi mencari berita. Julukan sebagai kuli tinta pun sempat tersematkan dalam eksistensinya bekerja. Jika dipersepsikan dewasa ini, julukan kuli tinta seolah terkesan negatif. Pekerjaan sebagai kuli bisa dibilang jenis pekerjaan untuk golongan menengah kebawah. Seolah-olah profesi ini hanya sekedar mencari dan menumpahkan tinta hitamnya di atas kertas putih. Tidak ada nilainya dibanding dengan pekerjaan yang lain.

Peran wartawan telah merangkum bukti sejarah berdirinya negara Indonesia. Berkat campur tangannya kepingan-kepingan sejarah yang berumur puluhan tahun masih tersimpan rapi di beberapa museum. Mereka juga telah memiliki beberapa media cetak, seperti surat kabar dan majalah. Sampai-sampai ada surat kabar yang ingin di bredel dari jam tayangnya. Hal ini dipicu dengan gagasan mereka yang tidak sejalan dengan penguasa. Kenekatan untuk mencoba berjalan mencari hak mereka ternyata harus dihadapi dengan pergulatan harga diri. Isu tersebut tentunya membuat prihatin akan nasib dunia penyiaran.

Paragraf di atas sudah mewakili sedikit gambaran seorang wartawan di masa orde baru. Kita tau bahwasannya kepemimpinan yang penuh otoriter tersebut, seolah menjadi momok bagi siapapun yang ingin terbang bebas saat ini. Negara Idonesia memang sudah merdeka dengan titelnya sebagai negara demokratis, tetapi pada prakteknya belum semuanya bisa terealisasi. Seperti bermain api di dalam sekam. Akhirnya bisa meledak kapan saja. Semuanya terkupas pada era reformasi. Para mahasiswa dari gabungan masing-masing universitas berkumpul menjadi satu dan menuntut akan hak kebebasannya. Sampai pada kebebasan pers bisa ikut mengudara. Meminta akan haknya untuk direalisasi.

Dengan adanya kebebasan pers wartawan bissa menggunakan hak dan menjalankan tugasnya sesuai tanggung jawab. Dimana di sana juga ada UU pers untu mengatur sepak terjang dalam dunia penyiaran. Bukan berarti wartawan bisa seenaknya untuk memberikan informasi, tetapi mereka dibekali pengetahuan dan ada kode etik masing-masing. Maka untuk sekarang ini instansi pers mensyaratkan S1 dalam proses perekrutan sebagai wartawan. Hal ini dijadikan patokan mengingat semakin cerdasnya masyarakat bertingkah laku.
Maka tingkat intelektualitas para wartawan pun juga harus mengimbanginya. Seorang wartawan tidak hanya sekedar mencari dan menyampaikan berita, tetapi seorang wartawan harus bisa menginspirasi masyarakatnya.

Menjadi wartawan bukan hanya dari lulusan komunikasi ataupun penyiaran saja, tetapi semua orang memiliki peluang untuk menggeluti profesi tersebut. Semuanya berawal dari belajar. Belajar mengetahui berbagai bidang untuk bahan yang akan di warta-kan. Mau tidak mau tuntutan, tekanan, aturan menjadi makanan setiap harinya. Suka duka wartawan ternyata juga menyelimuti dalam setiap aktivitasnya. Saat posisi mereka masih dalam tingkat profesi, peluang untuk memperjuangkan idealismenya masih terbuka lebar. Tetapi jika profesi itu sudah menjadi tuntutan, seperti tanggungan keluarga. Baik dari segi material atau keamanan. Dimana jika seorang kepala keluarga harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang sudah profesional gaji mereka mungkin sudah mencukupi, tetapi akan berbeda yang masih merasa kekurangan. Dari segi keamanan pun juga ikut menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan tindakan. Sudah menjadi rahasia umum jika seorang wartawan itu tidak pernah lepas dari yang namanya ancaman. Karena mereka berhadapan dengan berbagai banyak karakter masyarakat dan seorang wartawan yang akan menyiarkannya. Tentu narasumber menginginkan dimunculkan dalam kabar berita yang baik. Jika ternyata hasilnya tidak sesuai keinginan narasumber maka komplain pun tak bisa dihindari. Di sinilah pergulatan perasaan itu terjadi.  
Saat kita melihat sosok wartawan, persepsi pertama kali adalah terlihat  berwibawa dan penampilannya meyakinkan, itu bagi yang menilai positif. Tetapi jika yang memandang dari sudut negatif, maka wartawan itu sukanya main, berambut gondrong, tidak pernah mandi dan tampil apa adanya.

Sepasang mata boleh memberi pandangannya masing-masing. Jika para aktor ingin mendapat nilai plus maka tinggal berjalan sesuai kode etik dan berpenampilan sesuai karakternya. Hal ini bisa dilakukan oleh semua wartawan. Tatapi nilai plus yang berada di dalam jiwa wartawan dewasa ini apakah masih ada? Apakah dia ingin menjadi wartawan yang profesional atau sekedar wartawan abal-abal? Yang mau amplop sana sini. Hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama-sama. Dimana salah satu kode etik tersebut adalah wartawan harus menyampaikan berita sesuai fakta yang ada. Pastinya dengan ketentuan-ketentuan yang sudah tercantumkan. Maka kecerdasan dalam me-manajemenkan sangat diperluakan. Tidak cukup berfikir kritis dan matematis. Tugas apa yang diberikan dijalankan begitu saja, tanpa adanya korelasi dari sisi-sisi lain yang  sebenarnya masih ada peluang di sana. Maka yang benar-benar bekerja sesuai kode etik dengan dasar moral, di situlah hakekat wartawan yang sebenarnya. (crew)

Na’imatus Sa’diyah
Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar