Minggu, 07 Februari 2016

Manusia Era Virtual

Globalisasi dalam era masyarakat kontemporer seperti saat ini, pada hakikatnya telah membawa nuansa budaya dan nilai baru yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui keramahan teknologi dan media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang budaya dan nilai baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal kita menyadari, belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa harus berpijak, banjir informasi tentang agama dan budaya yang melaju bersama media atas nama globalisasi, tidak jarang membawa sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.

Maka jangan salahkan, jika paham-paham baru-aneh mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan, karena ladang basah lewat dunia virtual tumbuh dengan suburnya. Masyarakat pada akhirnya hanya bingung dan panik karena dunia bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sebagian dengan adanya keramahan teknologi memang bisa mempercepat gerak melewati ruang-waktu yang dinamis, misal adanya media sosial, mampu mengikis jarak dan waktu. Akan tetapi kita tidak pernah tahu sampai dimana masyarakat mampu untuk memanfaatkan keramahan teknologi itu untuk sesuatu yang serba positif . Tanpa adanya filter manusia akan terjebak dalam dunia virtual, hubungan sosial kemasyarakatan yang ramah-suka bergotong royong akhirnya hanya menjadi cerita, karena sebagian mereka lebih asyik berbincang dalam grup medsos. Karena medsos berimplikasi mendatangkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Ini ironi!.

Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Dilipat: tamasya melampaui batas-batas kebudayaan menyindir kondisi ini dengan sangat pedas ‘Pelipatan ruang-waktu lewat perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, telah meningkatkan akan gaya hidup real time, yaitu gaya hidup yang mengharuskan segala sesuatu harus dilakukan lewat saluran virtual, sehingga itu dapat dilakukan dalam waktu keseketikaan, meskipun sebenarnya masih banyak sesuatu yang bisa dilakukan dalam dunia nyata (real-world)’.

Bukan hanya sebatas itu, yang paling miris ketika dunia virtual digunakan sebagai ajang penyebaran sampah seperti propaganda, adu domba, dan penyebaran paham. Masyarakat yang belum cukup cerdas untuk memilah-milah dalam mengkonsumsi apa yang disajikan globalisasi akan menjadi santapan empuk, yang pada akhirnya akan terbawa dan meyakini dengan begitu mudahnya. Seperti saat ini carut marut adanya banyak persoalan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini, tidak lepas dari dampak banjir informasi yang menghanyutkan.

Semua ini dilatar belakangi karena kecepatan, manusia zaman kontemporer sekarang ini selalu membutuhkan kecepatan-ketergesaan, yang pada akhirnya selalu menghadirkaan sesuatu yang instan. Arus informasipun beredar dengan sangat cepat dalam dunia virtual. Memang benar satu sisi baik, akan tetapi kecepatan informasi terkadang tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk menyerapnya, informasi datang begitu cepat, begitu gencar, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan kewalahan untuk dapat diserap oleh pikiran manusia. Dan anehnya meskipun banyak manusia yang mengeluh tetang kelebihan informasi (oversupply) manusia hari ini tetap saja menimbun informasi, terbukti dengan semakin gencar manusia menonton televisi, beli modem, selancar dalam internet, membaca berita online dan sebagainya, yang tujuanya untuk memastikan bahwa dia tidak ketinggalan informasi.

Padahal informasi yang datang begitu cepat tadi, sengaja datang instan, satu sama lainnya : berlomba untuk dapat perhatian secara cepat dan kilat, meskipun sesungguhnya informasi yang disajikan penuh dengan tipu daya-asal jadi, makin cepat makin baik, karena yang dikejar hanyalah ratting dan materi, tanpa mempedulikan kebenaran dan kejujuran nurani-menyedihkan.!

Pada akhirnya marilah kita nikmati kecepatan informasi dengan baik dan coba bijak dalam mengkonsumsi berbagai nutrisi yang disajikan globalisasi, tetapi tetap memiliki filter sebagai daya kontrol diri. Semoga! (crew).

Penulis: Ahmad Syarifudin
Kontak Facebook: Ahmad Syarifudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar