Sabtu, 06 Februari 2016

Pilu (Sebuah Cerpen)

leh : Nurul Hidayati Yunaida
Waktu telah berjalan maju. Aku tak tahu lagi dengan apa yang aku lakukan. Jalan sudah kupilih, dan kini aku tinggal menjalani. Aku hidup dengan keluarga baruku yaitu istri dan anak-anakku. Sudah tiga tahun aku tak melihat sosok ayah, apalagi selepas tiga tahun yang lalu tentang kesalahan yang kulakukan hingga ayah murka. Aku tak bisa mengelak. Ayah begitu keras kepala hingga mengutukku sebagai anak tak tahu malu. Aku hanya diam membangkang dan pergi meninggalkannya.
Kini, ayah masih setia tinggal bersama ibu. Namun, ada hal yang tak bisa kulepaskan dari bayangan yakni bayangan kasih sayang seorang ibu. Aku rindu ibuku. Sempat teringat dibenakku sewaktu aku tak bisa mengikat tali sepatu, ibu yang pertama membantuku mengikatkan talinya. Hingga aku sering bawel karena lauknya kurang enak, tapi ibu tetap sabar, bahkan tanpa enggan ia menyuapiku tanpa ada mengeluh, apalagi memarahiku dengan kata-kata kasar. Aku sungguh rindu. Namun, saat ini aku enggan kembali ke rumah. Aku sudah punya kehidupan baru dengan keluarga baruku.
Meski sempat terngiang tentang tiga tahun silam yang memecah belah hatiku.  Ayah menolak aku menikahi Meida, perempuan pilihanku hanya karena status sosial. Aku tak bisa mengelak, ayah sungguh keras kepala. Yang ia tahu dimatanya hanyalah kepentingannya tanpa mengerti apa yang aku inginkan. Hingga aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan menikahi Meida tanpa persetujuannya.  Hanya ibu yang selalu memegangku untuk tidak pergi.
“Jangan pergi nak!” Air mata ibu meleleh. Aku hanya mencium pipinya dan memeluknya untuk terakhir kali saat itu. Ia adalah wanita yang sangat lembut dimataku.
“Maafkan aku ibu.” Aku pun turut menangis tersedu-sedu hingga sesak. Aku tak begitu tega melihat ibuku seperti ini, hanya saja aku tak bisa lagi. Aku berhak untuk memilih hidupku.
Aku memilih pergi dari rumah dan pergi sejauh mungkin dan menikah dengan Meida, perempuan yang telah aku nikahi saat itu dan akupun menetap di daerah cilacap. Aku hidup bersama istri dan kedua anak-anakku Mila dan Lathif, mereka adalah sosok malaikat kecilku.
***
Selang beberapa hari, adikku Lukman sering menelpon. Ia sering membujukku untuk pulang dan meminta maaf pada ayah. Tapi, rasanya semuanya sudah terlambat. Rasanya semua kan percuma setelah kuingat rasa sakitku dulu-dulu dan dianggap aku bukan termasuk lagi dalam daftar kelurga.
“Kak, tolong Kak pulang kerumah.” Bujukan Lukman sudah tak bisa lagi kuhiraukan.
“Maafkan aku, semuanya sudah terlambat.” Ucapku. Dalam hatiku aku tak tahan lagi mendengar adikku yang tanpa henti memohon-mohon padaku.
“Kak, tolong lah kak, apa kakak tidak rindu pada ibu? Ibu sering menangis terus selepas kepergian kakak, ayolah kak pulanglah sejenak walau hanya sehari.” Aku terdiam membisu setelah mendengar ibu menangis. Oh Tuhan, hal yang tak bisa aku hindari adalah sesosok ibu. Air mataku hanya menetes.
“Kak, kak tolonglah kak.... aku yakin kakak adalah sosok yang berhati lembut.” Lagi-lagi aku tak bisa berkutik. Ajakan Lukman membuatku semakin sesak.
“Sudahlah, semuanya sudah berakhir. Aku masih belum bisa.” Kataku tegas, meski rasanya hatiku perih bagaikan tersayat-sayat pisau.
“Kak, tolong kak. Dengarkan aku dulu. Tolong kakak maafkanlah ayah, lupakan  saja perkataan ayah yang dulu. Pulanglah! Keadaan ibu sekarang mulai melemah kak. Ia sekarang menjadi suka menagis terus. Apa kakak tidak kasihan kepada ibu? Selama ini ibu selalu menyayangimu kak... tolonglah kak. Kali ini saja kakak pulang walaupun hanya sehari untuk menjeguk ibu.”
Aku hanya bisa membisu dan menangis terisak. Dalam hati aku ingin pulang dan kembali melihat ibu. Tapi disisi lain rasa sakitku akan apa yang telah terjadi masih belum bisa kusembuhkan aku masih belum bisa memaafkan.
Sejenak kututup telpon adikku begitu saja tanpa memberikan salam.
Sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tak bisa begitu saja kembali. Dan hal yang menjadikan aku sedih, adalah aku masih belum bisa memaafkan.
                                   ***
Setahun kemudian. Lukman tak pernah memberikan kabar apapun tentang ayah dan ibu lewat telpon. Disatu sisi, aku lega tak ada yang membujukku kembali, tapi disisi lain firasat akan kecemasanku mulai timbul. Rasanya aku ingin tahu keadaan ayah dan ibu. Bagaimanakah keadaannya? Masih sehatkah mereka? Aku ingin pulag hanya saja, rasa gengsiku akan keputusan yang aku ambil. “Maafkan aku.” Gumamku lirih.
Keesokan harinya, shubuh-shubuh selepas aku melakukan ibadah sholat shubuh, bunyi ketukan pintu terdengar dibalik pintu rumahku. Aku sempat bingung shubuh-shubuh begini jarang-jarang ada orang bertamu, lalu seketika aku bergegas membukakan pintu. Aku terbelalak dan diam begitu saja. Seorang lelaki muda telah berdiri dihadapanku dengan mata sedikit sayu. Ia menangis dan tiba-tiba memelukku begitu saja.
“Kakak, pulanglah...” Lukman mencengkeram tubuhku begitu erat. Aku terheran dengan apa yang terjadi, hingga adikku datang ke rumah sepagi ini sambil menangis.
“Kakak, pulanglah... ayah dan ibu telah tiada.” Sekejab jantungku berdetak begitu cepat air mataku menetes deras. Benarkah dengan apa yang telah terjadi? Astaghfirullah! Kali ini aku merasa begitu menyesal. Aku peluk erat tubuh adikku, menyadari betapa jahatnya aku selama ini hingga tak mau menemui mereka, hanya karena menyimpan kebencian terlalu lama didada. Kali ini air mataku semakin deras membahasi pipi, dan aku sangat menyesal. (crew)

Penulis: Nurul Hidayati Yunaida
Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HP : 08972419616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar