Selasa, 02 Februari 2016

Intelektualisme: mikir, mikir, dan mikir

Ing ngarso suntuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini perilaku seseorang sering kali dipegaruhi oleh perkembangan teknologi yang ada. Banyak dari mereka yang terbuai oleh teknologi dan informasi yang sudah semakin canggih sehingga mereka tidak memperhatikan aspek aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, pentingnya sosialisasi dengan orang lain dan lain sebagainya. Dewasa ini teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia justru sebaliknya manusia lah yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Inilah potret kehidupan saat ini manusia sering kali melihat dari sisi apa yang sudah mereka hasilkan bukan pada sisi apa yang sudah mereka kerjakan. Bukan menghargai proses tetapi lebih melihat ke hasilnya. Dalam zamaan globalisasi ini manusia semakin individualistik lebih mementingkan dirinya seniri daripada orang lain. Ironis sekali memang melihat kenyataan yang ada saat ini kita bisa mengakses semua informasi, kita bisa mendapatkan informasi dari berbagai penjuru dunia ini. Namun, mereka tidak memperhatikan apa yang ada disekitar mereka. Lebih dari itu, kegandrungan akan teknologi juga membuat manusia asyik dan terpesona dengan penemuan penemuan baru yang dihasilkan oleh teknologi yang semakin canggih. Disinilah peran dari pendidikan itu sangat dibutuhkan bagaimana menyeimbangkan antara kehidupan yang individualistik dan kehidupan individu dalam bermasyarakat dapat seimbang. Memang diperlukan sebuah pendidikan yang bersifat humanis dan berbudaya. Jika belajar dari Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik asli Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang humanis diperlukan daya cipta, rasa, dan karsa. Atau lebih kerennya lagi yaitu educated the head, the heart, and the hand. Menurutnya seseorang mempunyai daya rasa cipta, rasa, dan karsa itu. Pengembangan kemampuan yang hanya menitikberatkan pada salah satu sisi saja hanya akan membuat seseorang “gagal menjadi manusia”. Pendidikan yang hanya menuntut keberhasilan secara intelektual saya yakin hanya akan membuat peserta didik semakin jauh dengan masyarakat. Bahkan Ki Hajar Dewantara sangat tegas menolak pendidikan yang hanya mementingkan intelektualisme dan mengesampingkan aspek kerohanian saja. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan  kita bagaimana bisa “memanusiakan manusia”.

Jika melihat sejarah pendidikan Indonesia kebelakang. Pada dekade 70-an Indonesia pernah menunjukan tajinya. Iya pada dekade tesebut kurikulum “made in Indonesia” pernah dipekerjakan di Malaysia dan hasilnya luar biasa Malaysia berhasil. Malaysia pernah medatangkan dosen ataupun guru dari Indonesia untuk “membantu” dunia pendidikan mereka. Sampai pada akhirnya mereka memberikan label untuk dirinya sendiri sebagai “Malaysia is truly of asia”. Akan tetapi mengapa justru di negaranya sendiri pendidikan Indonesia terus mengalami kemunduran?. Pendidikan memang pada hakikatnya tidak hanya sekedar proses belajar dan mengajar saja akan tetapi juga menjadi sebuah proses untuk membuat manusia semakin manusia bukan sebagai“kelinci percobaan” yang jika bagus dilanjutkan dan jika gagal maka akan diberhentikan. Bukankan diperlukan waktu satu generasi untuk dapat melihat apakah pendidikan itu berhasil atau tidak?. Pendidikan haruslah menjadi sebuah wadah untuk dapat membuat seseorang dapat mengerti apa yang jelek dan apa yang baik, apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi kewajibannya.

Berbicara mengenai pendidikan tentu hal yang tak lupa untuk dibahas adalah peran dari pendidik itu sendiri. Seperti orang jawa bilag guru “digugu lan ditiru” harusnya benar menjadi sebuah realita untuk para guru di Indonesia, bukan hanya sebagai ucapan yang berlalu begitu saja. Guru sebagai model atau contoh keteladan haruslah benar benar dilakksanakan sebelum menjadi fasilitator pendidikan mereka laksanakan. Para pendidik haruslah mempunyai kelebihan dalam bidang keagamaan artinya sisi spiritual mereka haruslah tinggi sehingga mereka dapat mendidik anak bangsa yang dikatakan mengalami degradasi moral bukan malah ikut-ikutan terkena dampak degradasi moral. Iyah degradasi moral tidak hanya dirasakan oleh peserta didiknya saja tapi mereka para pendidik juga ikut-ikut mencicipi degradasi moral itu. Banyak contoh akhir-akhir ini yang bisa membuat kita terheran heran mengapa begitu? Sekolah yang harusnya menjadi tempat ke dua setelah “sekolah ibu” justru menjadi momok menakutkan untuk para siswa, kasus guru agama mencabuli siswanya, kasus seorang guru yang melakukan kekerasan terhadap siswanya dan masih banyak kasus-kasus miris yang sering kita tonton bersama-sama. Jika kita membahas Lebih lanjut lagi, maka kita akan mendapati istilah “sekolah penjara”. Apa itu sekolah penjara? sekolah penjara adalah istilah yang sering digunakan oleh seorang siswa yang mempunyai perasaan takut untuk masuk sekolah. Bukan karena mereka sakit sehingga tidak bisa masuk sekolah bukan, bukan itu yang mereka maksud. Mereka menamai sekolah penjara karena mereka sering mendapat seperti “ancaman”. Bisa saya ambil contoh seperti ini ketika seorang guru mengatakan kepada siswanya “besok pokoknya semua harus hafal kalau tidak hafal ibu hukum kalian lari lapangan 10 kali misalnya. Aduh macam mana ini, saya merasa “ancaman” seperti inilah yang membuat mereka merasa takut untuk masuk sekolah. Jam tujuh pagi adalaah jam yang menakutkan untuk paara siswa, mereka seakan akan tidak mempunyai semangat lagi untuk masuk sekolah jika mereka harus bertemu guru guru seperti ini. Mereka akan takut jika mereka harus dipertemukan dengan guru guru killer yang mnurut mereka lebih baik bunuh saja aku, daripada harus bertemu dengan guru killer. Sehingga sering kali mereka memberikan julukan julukan yang “nyleneh” untuk guru guru mereka seperti memberi nama “sumanto” meskipun itu bukan namanya, mereka menamai dengan sebutan itu karena terlalu killernya guru itu. Mereka menjadikan hal hal seperti ini untuk “pelampiasan” kemarahan mereka. Memang salah apa yang dilakukan oleh siswa tersebut namun jika melihat penyebabnya apa ini salah mereka sepenuhnya?. Sekolah seharusnya didesain untuk membuat para siswanya merasa aman dan nyaman. Memang benar guru guru yang killer tersebut hanya untuk membuat siswanya lebih disiplin. Namun, harus kita tahu bahwa tidak semua siswa mau untuk “dikerasi”. Disinilah memanusiakan manusia harus bisa dilakukan. Bukan seperti sekolah yang peserta didiknya tidak diikutkan dalam proses belajar mengajar. Peserta didik hanya disuruh duduk dari jam tujuh pagi bahkan sampai nanti jam dua siang. Dimana partisipasinya jikalau mereka tidak pernah diajak untuk aktif dalam proses belajar mengajar itu. Sehingga para siswa akan merasakan kejenuhan ketika mereka berada dalam kelas. Maka tak heran bila mereka selalu bersemangat ketika mereka mendengar bunyi bel iyah bel istirahat dan bel tanda pulang lah yang menjadi favorit para siswa di Indonesia.

Semua Negara didunia ini sadar betul bahwa pendidikan adalah cara yang paling efektif untuk memajukan warga negaranya. Jika memang betul begitu adanya seharusnya semua masyarakat di Indonesia ini sadar betul akan pentingnya pendidikan. Bukan hanya sekedar mengejar ijazah tapi dari sekolah kita akan mendapatkan sebuah teori-teori yang dapat kita gunakan dalam sehari-hari. Namun, bagaimana mungkin itu kita dapatkan jika dunia pendidikan kita seperti ini. Membicarakan tentang pendidikan tentu tak akan pernah ada habisnya selalu ada sisi menarik yang membuat kita bersemangat untuk mengulik apa saja yang menjadi permasalahan pendidikan kita ini. Dari semua komentar jikalau kita menanyakan mengenai “apa yang salah dari pendidikan Indonesia” tentu kita serempak untuk menjawab pendidikan Indonesia kurang humanis. Iyah itulah yang menjadi salah satu sebab dari sekian banyak catatan hitam dunia pendidikan kita ini. Memanusiakan manusia memang menjadi persoalan serius dinegeri ini. Namun, apakah namanya soal jika kita tidak bisa menemukan jawabannya?. Persoalan pelik dunia pendidikan ini seharusnya dicari akarnya, masalah memanusiakan manusia belum tuntas benar kita sudah dihadapkan engan persoalan pemerataan. Bukan rahasia umum lagi jika pendidikan Indonesia belum merata. Jika dikota pendidikan tiap hari selalu menujukkan perkembangannya lalu apa kabar mereka yang ada dpelosok negeri ini? sudah kah mereka mendapatkan pendidikan yang layak, sudahkan mereka diajar oleh guru yang profesional, sudahkah mereka mendapatkan buku pelajaran yang memadai, sudahkah mereka mendapatkan ruang kelas yang nyaman?. Tentu pertanyaan pertanyaan tersebut selalu hinggap dipikiran pikiran kita semua.

Dari pandangan sosio-antropologis kekhasan yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah manusia itu lebih berbudaya, sedangkan manusia lainnya tidak berbudaya. Maka benar jika banyak orag mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk memanusiakan manusia adalah lewat kebudayaan. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda karena budaya lahir dalam suatu masyarakat dan menjadi dentitas dari masyarakat itu sendiri maka tak heran jika budaya itu berbeda-beda lain masyarakat lain lagi budayanya. Manusia akan menjadi benar benar manusia jika mereka hidup dalam budayanya sendiri. Pendidikan dan budaya memang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa di pisahkan begitu saja. Pendidikan diharapkan mampu “menggandeng” kebudayaan agar dapat saling bersinergi satu sama lain. Indonesia adalah salah satu Negara yang masih berjuang untuk dapat dikategorikan sebagai Negara maju. Memang Indonesia masih butuh proses panjang untuk bisa masuk dalam kategori Negara maju tersebut. Banyak yang meragukan bahkan mereka pesimis Indonesia bisa menjadi Negara maju. Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih menjadi Negara berkembang salah satunya adalah karena Indonesia ini masih terlalu dimanjakan oleh alam yang melimpah ruah. Seperti layaknya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh salah satu musisi Indonesia “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” karena begitu suburnya tanah di negeri ini sehingga membuat semua tanaman dapat tumbuh di tanah Indonesia. Namun, hal itulah yang membuat anak negeri ini terlalu santai, banyak sekali anak anak yang putus sekolah bukan karena tidak mampu bukan itu mereka putus sekolah karena mereka akan mengurusi sawah yang mereka punyai. Mengandalkan alam seperti itulah mereka bukanya bagaimana memikirkan sekolah mereka justru terbuai oleh alam boleh jika itu semua mereka lakukan jika sawah itu memang sudah menjadi kepunyaanya sendir akan tetapi jika itu milik orang tuanya lalu akan seperti apa? Atau lebh pahitnya lagi jika sawah itu adalah milik orang lain dan mereka hanya dipercaya untuk merawatnya. Alam memang menjanjikan jika memang dapat diolah dengan baik akan tetapi jika tidak diolah dengan baik hasilnya justru akan merugikan kita sendiri. Pendidikan dan kebudayaan seharusnya memang harus seperti simbiolis mutualisme yang sama sama saling menguntungkan. Pendidikan haruslah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat lebih bersifat humanis berkaitan dengan kehidupan sehari hari sehingga lmu yang sudah mereka ajarkan benar-benar dapat diaplikasikan dan dibutuhkan di kehidupan nyata. Dengan demikian pendidikan dapat bersatu padu dengan kebudayaan yang ada dimasyarakat sehingga bisa menghasilkan sebuah harmonisasi yang indah antara keduanya.

Jika Indonesia memang menginginkan sebuah revolusi pendidikan maka seharusnya revolusi itu harus benar-benar menjadi sebuah realita bukan hanya sekedar retorika belaka. Revolusi membutuhkan komitmen yang serius bagi semua unsur yang ada di dunia pendidikan ini tidak hanya peserta didik saja yang berrevolusi tapi semua orang ataupun lembaga yang ikut terlibat didalamnya mulai dari menteri pendidikan, mereka yang berwenang dalam membuat sebuah kebijakan, pendidik, sampai peserta didiknya itu sendiri. Semua lapisan harus bekerja ekstra untuk kemajuan pendidikan kita sehingga tidak ada lagi sikap apatis dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab dengan pendidikan negeri ini. Indonesia memang masih butuh perjalanan yang panjang, masih harus menaiki ribuan anak tangga hingga kita dapat berdiri tegak di puncak kejayaan. Memang data yang dihimpun oleh Dirjen LPS Dikdasmen yang menyatakan bahwa masih ada lebih dari 16 juta WNI diatas umur 10 tahun yang masih belum melek huruf itu artinya masih terdapat pekerjaan rumah yang menanti yang harus kita perhatikan secara serius belum lagi masalah infrastruktur yang sering sekali kita dengar beritanya atau justru malah daerah kita yang menjadi korban dari kebobrokan infrastruktur sekolah, bangunan yang ambruk, genteng yang pecah, tembok yang retak sampai pada kasus tidak punya bangunan sekolah sehingga mereka harus menumpang dirumah warga. Bahkan kasus yang dialami oleh pendidiknya pun mendapatkan sorotan yang tajam kasus guru mencabuli siswanya, kasus guru melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta didiknya, dan masih banyak kasus-kasus lain yang mungkin pernah kita tonton. “pahlawan tanpa tanda jasa” memang sudah susah disematkan untuk para pendidik negeri ini banyak dari mereka yang meminta sertifikasi sampai menuntu untuk diangkat menjadi PNS. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia justru mereka malah menuntut peningkatan kualitas pribadi mereka. Ironis memang melihat kenyataan yang kita hadapi saat ini , sejarah telah membuktikan Indonesia pernah menjadi percontohan di bidang pendidikan untuk kawasan ASEAN, harus menjadi pencundang dalam hal mutu pendidikan. Banyak sekali potret kehidupan pedidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini terus merebak ke permukaan. Catatan catatan hitam pendidikan di Indonesia akhrnya terbuka bebas. Kenapa lagi kalau bukan karena peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Dalam Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 mei kemaren memang menjadi momentum untuk mengulik permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Pada akhirnya pendidikan yang memanusiakan manusia lah yang selalu mereka harapkan. Iya, masih dalam rangka semangat Hardiknas mari kita sama-sama saling bahu membahu untuk kemajuan pendidikan di tanah air Indonesia ini berhenti untuk selalu saling lempar tanggung jawab dan saling salah menyalahkan. Masih banyak generasi penerus bangsa yang berprestasi dalam arti sesungguhnya. Memang benar Indonesia belum kalah tetangga kita Vietnam mampu “berdiri tegak” meskipun barusan saja pada tahun 1975-an “bertinju” dengan Amerika sehingga saat ini mampu dijadikan impor beras bangsa Indonesia. Malaysia yang memberi label untuk Negaranya sendiri “we are truly asia” setelah hampir 3 daawarsa berguru dengan kita, tapi kenapa Indonesia yang sudah hampir 70 tahun merdeka masih jalan ditempat?.

Akan tetapi, jika kita melihat dari sisi lain bangsa Indonesia harus bangga dengan mereka para anak negeri yang masih peduli dengan pendidikan Indonesia. Banyak sekali dari mereka yang kemudian membuat sebuah gerakan untuk membantu memberikan pendidikan untuk mereka yang berada dipelosok negeri ini sebut saja gerakan 1000 guru, komunitas nama, Indonesia mengajar dan masih banyak lagi komunitas maupun gerakan lainya. Sekali lagi masih dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional semoga pendidikan di Indonesia kembali menunjukkan taringnya di kawasan asia tenggara sehingga kita bisa menjuluki Indonesia dengan sebutan “the lion of asia”. Aku masih percaya akan adanya perubahan perubahan itu. Jika dahulu presiden Soekarno menyebutkan “berikan aku 10 pemuda niscaya akan aku guncangkan dunia ini” aku masih percaya bahwa pemuda yang diharapkan Soekarno itu masih ada dan kini sedang belajar agar bisa menjadi pemuda seperti yang harapkan oleh Soekarno. Maju terus pendidikan Indonesia!!! (crew)

Penulis: Ulfa Anjarwati
IG @ulfa_anjarwati
Twitter @ulfaanjarwati
Fb ulfaa anjarwati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar