Minggu, 31 Januari 2016

Antisipasi Gafatar Dengan Berfikir Kritis


Kelompok Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang disebut-sebut sebagai aliran sesat kini menjadi perhatian dan perbincangan publik yang menghebohkan di berbagai media sosial maupun pemberitaan media massa. Hal ini bukan hanya terkait dengan menghilangnya sejumlah orang, tetapi juga ajaran dan praksisnya.

Jawapos.com (11/01/2015) dalam website Gafatar Lampung disebutkan, Gafatar berdiri di Jakarta pada 14 Agustus 2011 atas prakarsa 51 orang badan pendiri. Deklarasi di level pusat dilakukan pada 21 Januari 2012 dengan 51 deklarator diikuti oleh 14 DPD (14 Provinsi). Bahkan Gafatar telah berkembang dengan memiliki 34 DPD yang tersebar diseluruh Insdonesia.

Dari berbagai sumber, baik dari Gafatar sendiri maupun yang lain, Gafatar merupakan penjelmaan dari “Al Qiyadah Al Islamiyah” yang di pimpin oleh Ahmad Mussadeq yang dianggap sesat dalam fatwa MUI pusat (4 Oktober 2007). Sebelum menjadi Gafatar, Al Qiyadah Al Islamiyah berganti nama menjadi Komar (Komunitas Millah Abraham) dan pada bulan januari dideklarasikan menjadi Gafatar. Pada tahun 2008, pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara atas Mussadeq karena terbukti melakukan penodaan agama.

Gafatar menyatakan berasas pancasila, dan mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Negara Kesatuan Semesta Alam (NKSA). Gafatar mengajarkan kepada para anggotanya untuk merayakan Sabbath, yaitu hari ibadah umat yahudi dan kristiani. Gafatar hanya memegang rukun islam tentang kewajiban zakat, hal ini terkait dengan penggalangan dana untuk kegiatan sosial yang mereka lakukan, dan mereka menolak rukun islam yang lain seperti hanya mengimani Allah dan menolak beriman kepada Nabi Muhammad, shalat lima waktu, puasa ramadhan dan berhaji bagi yang mampu.

Sejak aktif hingga dilarang Gafatar bergerak secara soft, tidak mencolok, tidak massal dan tidak ada laporan dari warga yang protes. Meski sudah dibubarkan, Gafatar masih bergerak aktif. Hal ini terlihat dari kasus hilangnya  dokter Rica dan anaknya yang ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Dalam hal ini tentu perintah harus bersikap tegas dalam mengambil keputusan terhadap Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Agar tidak ada lagi korban hilang yang terjadi seperti yang diberitakan dimedia massa.

Sebagai warga negara Indonesia yang mayoritas beragama islam, agar lebih waspada dan lebih jeli terhadap aksi dan kegiatan yang dilakukan oleh Gafatar. Yang harus kita lakukan saat ini adalah berfikir kritis dalam menyikapi setiap persoalan, terutama dalam hal melihat fakta, jangan hanya mengandalkan asumsi-asumsi saja. Dengan banyaknya gerakan yang ekstrim, masyarakat harus berfikir disertai dengan analisis sebelum mengambil suatu keputusan.

Dengan berfikir kritis, kita akan terhindar dari ajakan gerakan ekstrim dan radikal yang tidak jelas ajarannya. Jika kita tidak mau berfikir kritis tidak menutup kemungkinan kita akan terjerumus pada sebuah gerakan yang radikal yang akan membawa kita pada jalur yang sesat. Tidak mau berfikir merupakan salah satu faktor yang membuat orang menyimpang dari jalan yang baik. Didalam agama Islam telah diajarkan agar manusia mau berfikir dengan akal yang telah diberikan oleh Allah Swt. Dengan akal manusia bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Tidak menutup kemungkinan didalam agama lain juga diajarkan hal yang demikian. (crew)


Rusdiyanto (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar