Selasa, 26 Januari 2016

Karena Perempuan Ingin Di Mengerti

 ilustrasi (mutiarabijak.com)

“Memanusiakan Manusia ”
Ya, ungkapan di atas seolah menjadi peribahasa sosial sebagai usaha untuk saling menghargai antara manusia satu dengan yang lainnya. Apalagi jika kita berbicara tentang sosok perempuan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) penggunaan kata wanita sudah mewakili sebutan bagi kaum hawa. Bisa dibilang kata wanita sudah memenuhi standar etika dalam sebuah panggilan. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan jaman, penggunaan sapaan wanita cenderung bernilai rendah atau terkesan negatif. Maka sebutan perempuanlah yang relevan dalam KBBI sekarang ini.
Seorang perempuan yang familiar dengan perasaan sensitifnya ini, menginginkan perhatian dari orang sekitar. Baik itu dari orang tua, teman atau suaminya kelak. Bukan berarti perempuan itu sosok orang yang manja, yang selalu ingin diperhatikan orang lain. Jika kita sedikit mengulas sebelum masa perjuangan R.A. Kartini, perempuan seolah tidak ada harganya di mata halayak. Bak seekor burung yang terdiam dalam sangkarnya. Tetapi setelah adanya perjuangan beliau, peran perempuan mulai terlihat dari bilik-bilik nan menyuramkan.
Secara normatif perempuan dan laki-laki diciptakan dalam porsinya masing-masing. Titah seorang pemimpin yang melekat pada laki-laki tidak bisa ditorer dengan alasan apapun. Tetapi bukan berarti perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berkarya. Istilah perempuan dijadikan dari tulang rusuk laki-laki beresensi bahwasannya antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dilahirkan lebih dulu. Jadi laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk saling diakui keberadaannya.
Perempuan belum dikatakan sukses jika tidak bisa membimbing putra putrinya kelak. Memang benar adanya tugas tersebut adalah tanggung jawab kedua orang tua, tetapi bahasa ibulah yang pertama kali melekat dibanding bapak. Coba kita tanya pada anak-anak sekarang ini, tipe gedget apa yang paling menarik. Sampai-sampai penulis kalah karena ke-gaptek-kannya.
Faktor lingkungan yang semakin ekstrim harus diminimalisir dengan tingkat perhatian orang tua kepada si anak. Mata pelajaran agama yang mereka temui satu minggu sekali di sekolah tidak mencukupi tingkat religiusitas. Yang paling miris jika orang tua mempercayakan anak kepada baby sister. Karena kesibukannya dalam bekerja, sedikit sekali waktu yang digunakan untuk bersama sang buah hati. Apa yang menjadi sifat dan sikap dari pengasuhnya akan diikuti oleh anak. Karena pada masa golden age, anak paling mudah dalam proses meniru. Apalagi terhadap orang terdekatnya, mudah sekali pengaruh itu berkembang. Berperan sebagai aktifis atau bahkan sampai menjadi wakil rakyat, tentu porsi kegiatan di lapangan semakin padat. Kesegaran politik harus dia ciptakan demi mewakili masyarakat yang pro dengannya.
Ketenaran sosok perempuan di mata publik tidak akan berarti apa-apa selama tanggung jawab utamanya belum dipenuhi. Tak ada satupun yang bisa melarang perempuan untuk berkarya. Selama tidak melanggar syari’at yang sudah ditentukan. Karena “live is choice !”. (crew)

Na’imatus Sa’diyah

Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar