Jumat, 09 Desember 2016

Esai - Strategi Pelestarian Budaya Indonesia

            Tanah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan beragam suku bangsa, ras, agama, ideologi, dan budaya membaur menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Nusantara. Multikulturalisme bukanlah sebuah halangan bagi bangsa ini, namun sebuah keunikan dan harga mahal yang patut dipertontonkon pada khalayak dunia. Komposisi etnis yang bervariasi dan beraneka ragam telah menampilkan Indonesia dari sisi yang berbeda dengan negara lain. Sehingga tak jarang banyak bangsa lain yang melirik Indonesia dengan segala kekayaan budayanya yang sarat akan nilai estetis.
          Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 32 ayat 1 menyebutkan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya.” Sedangkan pada ayat 2 menyebutkan “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kemajemukan yang kompleks.

               Budaya masyarakat yang telah berlangsung secara turun-temurun dan telah mengakar dalam kehidupan, tentu akan dipertahankan sekuat tenaga di tengah gempuran budaya baru yang datang silih berganti. Pikiran dan fisik tentunya terus bekerjasama demi mempertahankan eksistensi dari budaya tersebut. Perlu adanya tenaga baru, pikiran baru, dan semangat baru untuk terus menegakkan keberadaan budaya. Karena walau bagaimanapun budaya merupakan aset negara yang sangat berharga. Namun, mampukah budaya dapat terus hidup dalam goncangan dunia baru yang turut menghadirkan kebudayaan baru? Disinilah pemerintah beserta masyarakat dituntut aktif untuk terus mengupayakan agar budaya dapat tetap hidup di tengah arus modernisasi.

            Gejala “tsunami budaya” di era milenium ketiga ini semakin kuat dirasakan. Disamping terjangan teknologi yang memudahkan manusia, namun di sisi lain keberadaan budaya sebagai jati diri bangsa semakin terancam. Di era ini juga, secara gencar budaya-budaya asing turut mengintervensi budaya Indonesia serta meracuni moral anak bangsa melalui budayanya yang negatif. Sehingga tak pelak menimbulkan adanya culture shock atau guncangan budaya di tengah kehidupan saat ini. Beberapa kasus yang sempat menghebohkan media pemberitaan dan terkhusus masyarakat Indonesia adalah mengenai klaim negara tetangga terhadap beberapa kebudayaan Indonesia. Berdasarkan Forum Masyarakat Peduli Budaya Indonesia (FORMASBUDI) mencatat setidaknya ada sepuluh budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia. Ke-10 budaya tersebut, yaitu Batik, lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Kuda Lumping, Rendang Padang, Keris, Angklung, Tari Pendet dan Tari Piring, serta Gamelan Jawa. Permasalahan ini tentunya dapat dijadikan sebagai cambuk dan bahan introspeksi agar hal serupa tak berulang di kemudian hari yang jelas-jelas sangat merugikan negara.

                Saat ini sangat mudah untuk menemukan para pemuda yang bangga memamerkan gaya baratnya tanpa mereka sadari bahwa mereka adalah korban dari kontaminasi budaya barat. Minimnya apresiasi anak muda terhadap budayanya sendiri dan lebih memilih budaya-budaya luar yang serba glamor ketimbang memilih kesenian tradisional yang katanya “ndeso”. Mereka terlalu mudah untuk menyerap budaya-budaya luar tanpa adanya proses pemfilteran terlebih dahulu. Tetapi ketika budayanya sendiri sedang mengalami krisis dan diakui oleh bangsa lain, masyarakat Indonesia baru mulai tergugah dan ikut membela serta mengatakan “Tidak Terima” akan budayanya yang diklaim oleh negara lain. Tanpa adanya partisipasi melestarikan dan menjaga aset bangsa tersebut. Sehingga dalam hal ini penting adanya untuk selalu menanamkan dan mensosialisasikan budaya-budaya Indonesia kepada anak-anak bangsa mulai sejak dini. Dengan begitu rasa cinta akan budaya lokal akan semakin kuat dan mengakar dalam diri para generasi bangsa.

                  Dengan keanekaragaman budaya yang tersebar di Indonesia, namun hanya segelintir orang saja yang masih menekuni dan bersemangat untuk melestarikan budaya. Dan tentunya orang-orang ini patut untuk diberikan apresiasi terhadap usahanya tersebut. Regenarasi menjadi penting keberadaannya untuk dapat terus menjaga dan melestarikan keautentikan budaya Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya telah mengupayakannya. Sebagai contoh di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sekolah-sekolah di Yogyakarta memasukkan muatan lokal (mulok) berupa Bahasa Jawa dan keterampilan membatik. Ini menjadi satu langkah penting bagi upaya pelestarian budaya. Namun disisi lain keberadaan pengajar yang profesional masih menjadi kendala. Sehingga pelaksanaan muatan lokal (mulok) itu sendiri belumlah maksimal. Sesuai dengan fakta yang ada, kebanyakan para pengajar ataupun guru muatan lokal (mulok) merupakan guru-guru pengajar mata pelajaran wajib dan guru-guru tersebut mendapat tugas tambahan untuk mengajar muatan lokal (mulok). Disamping itu saat ini semakin langka orang-orang yang berniat mengambil pendidikan di bidang bahasa Jawa karena minimnya penghargaan dari pemerintah. 

                    Tak hanya Daerah Istimewa Yogyakarta saja, di sekolah-sekolah daerah lainpun turut memasukkan muatan lokal (mulok) di dalam mata pelajaran. Contoh lainnya di Jawa Barat terdapat muatan lokal (mulok) bahasa Sunda dalam mata pelajaran mereka. Kendalapun tak hanya berupa pengadaan pengajar, namun juga ruang lingkup penggunaan bahasa daerah tersebut yang akhirnya kurang diminati. Karena bahasa daerah hanya dapat digunakan di daerah yang bersangkutan. Kalaupun ada penggunaan bahasa daerah di luar daerah tersebut, itu hanyalah kaum minoritas yang menggunakannya. Muatan lokal berupa bahasa daerah menjadi suatu langkah guna melestarikan budaya dalam hal ini adalah bahasa di tengah maraknya penggunaan bahasa Inggris yang semakin dianjurkan. Namun mau tidak mau keberadaan bahasa Inggris haruslah diterima dengan tangan terbuka sebagai bahasa pemersatu di dunia. Sehingga dibutuhkanlah keseimbangan dan kebijakan diri dalam penggunaan bahasa tersebut. Dengan begitu apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik. 

                Belakangan ini semakin marak para wisatawan asing yang berkunjung ke pulau Jawa tak hanya kepentingan wisata semata, namun juga turut mempelajari budaya Jawa seperti bahasa Jawa, wayang, dan juga karawitan (seni gamelan). Kemungkinan terburuk berupa orang asing yang piawai melakoni budaya-budaya Jawa tersebut dibandingkan dengan masyarakat lokal tentulah menjadi permasalahan serius dan perlu dipertanyakan. Sebenarnya milik siapakah budaya tersebut? Hal tersebut tentunya tidak diinginkan bagi masyarakat Indonesia.
        
          Indonesia sepatutnya bercermin pada negeri Sakura, Jepang dalam hal pelestarian budaya tradisional yang terus dijaga eksistensinya hingga saat ini. Negara maju yang terletak di Asia Timur ini mampu tampil menandingi negara-
negara maju lain di Eropa maupun Amerika, setelah mengalami keterpurukan berupa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh pasukan militer Amerika dalam perang dunia II. Kemajuan negara Jepang dikarenakan pemerintah dan tokoh-tokoh penting dari negara tersebut selalu memberi pengajaran terhadap masyarakatnya agar menghargai dan melestarikan budayanya. Dan terbukti budaya Jepang mampu mendunia. Budaya-budaya Jepang tersebut diantaranya meliputi pakaian tradisional yaitu baju “Kimono” dan “Yukata”. Kemudian “Chadou” atau “Sadou” yang merupakan upacara minum teh di Jepang, origami yang merupakan seni melipat kertas, dan masih banyak lagi. Sehingga dalam hal ini Jepang turut melakoni apa yang dikatakan seorang ahli bahwasanya “Negara yang maju adalah yang masyarakatnya bisa menghargai budayanya.”ii Seorang seniman serba bisa, Didik Nini Thowok menjelaskan bahwa Jepang memiliki kepedulian tinggi dalam melestarikan kesenian tradisionalnya. Menurutnya masyarakat Jepang sangat mengapresiasi pergelaran kesenian tradisionalnya, dibuktikan dengan relatif mahalnya tiket untuk pertunjukan kabuki (seni teater asli negeri Sakura) yang membuat kesenian itu bergengsi. Sementara itu orang yang menonton pertunjukan tersebut pun mengenakan kimono yang menandakan sangar respect dengan pertunjukan tersebut.

                Untuk itu generasi muda Indonesia mulai saat ini harus jauh-jauh membuang gengsi yang tertanam dalam diri dan tak sungkan untuk belajar pada negara lain yang sukses melestarikan budayanya. Dengan proses belajar tersebut, selain untuk mengikat kerukunan antar negara disamping itu budaya yang telah menjadi aset negarapun terselamatkan keberadaannya. Kerjasama pemerintah dengan masyarakat menjadi kunci utama dalam misi pelestarian budaya. Kita bangsa Indonesia saja dapat menerima budaya luar dengan tangan terbuka, begitupun sebaliknya. Bangsa lain juga harus dapat menerima budaya Indonesia dengan tangan terbuka melalui misi-misi internasional dalam rangka mempromosikan budaya Indonesia. Dengan begitu bangsa lainpun akan mengakui keberadaan budaya Indonesia yang autentik dan sarat akan nilai-nilai.

               Oleh karena itu solusi yang dapat penulis berikan guna menjaga eksistensi budaya Indonesia agar tetap lestari adalah, pertama, adanya kemajuan zaman dengan segala budaya-budaya moderennya yang ditawarkan juga sekaligus sebagai ancaman bagi keberadaan budaya lokal, maka hendaknya dilakukan proses pemfilteran terlebih dahulu untuk kemudian diterima dalam kehidupan masyarakat. Perlu bertindak selektif dalam mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya agar tidak mengancam keberadaan budaya lokal itu sendiri. Kedua, pemuda merupakan harapan bangsa yang kelak diharapkan dapat melanjutkan tradisi dari bangsanya. Namun di sisi lain pemuda juga mudah untuk terlena dengan hadirnya budaya budaya modern. Oleh karena itu perlu adanya pendidikan dan penanaman cinta akan budaya nasional sejak dini. Dengan begitu rasa cinta tersebut akan semakin kuat dan mengakar. Ketiga, regenerasi menjadi penting agar kelak akan lahir generasi penerus budaya nasional. Oleh karena itu bentuk dukungan pemerintah berupa penghargaan dan apresiasi sangat diharapkan guna menggugah masyarakat agar lebih tertarik dan menghargai budayanya sendiri. Keempat, untuk dapat membawa budaya Indonesia dalam kancah internasional dan diterima keberadaannya, hendaknya Indonesia lebih sigap dan tak sungkan belajar dengan negara lain yang berhasil melestarikan budayanya. Sehingga nantinya Indonesia akan mendapatkan pengetahuan baru dalam mengemas budayanya agar tampak bergengsi, namun tidak menghilangkan sisi keorisinalitasnya.

               Dengan solusi-solusi tersebut diharapkan budaya Indonesia dapat tetap bertahan walau zaman semakin melangkah maju dan melahirkan berbagai budaya budaya baru. Budaya Indonesiapun harus mampu berjalan di tengah krisis westernisasi yang dengan mudah menarik orang-orang di dunia. Sehingga nantinya budaya nasional masih dapat dinikmati oleh anak dan cucu kita.

Penulis : Widya Resti Oktaviana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar