Si
Islam, si Kristen, Si Hindu. Label-label tersebut muncul dan secara tidak
langsung berkesan diskriminatif. Tuhan telah menciptakan manusia dengan
agamanya yang berbeda-beda di bumi ini. Namun sepertinya manusia salah dalam
menjalin hubungannya dengan manusia lain yang tampak berbeda dengan dirinya.
Saat
ini lidah terasa kelu untuk mengucap “saudara” kepada sesama manusia. Namun
mudah sekali untuk memendam benci dalam hati demi memperjuangkan kepentingan
kelompok. Saat ini tangan terasa kaku untuk merangkul sesama manusia, namun
terus menggandeng erat sesama kelompok demi menjatuhkan kelompok lain. Dan saat
ini juga, penyempitan berpikir tengah meracun dan menolak segala gagasan yang
bertolak belakang dengan pemikiran pribadi tanpa mau untuk menimbang kembali.
Bentuk
keegoisan tengah membutakan umat manusia. Maksud hati memberikan pembelaan
terhadap kelompoknya, namun tak mampu menghindar dari konflik, kebencian,
permusuhan, dan diskriminasi. Bahkan kata “maaf” tak lagi berharga sebelum
lawan merasakan penderitaan. Lalu, bagaimanakah generasi-generasi selanjutnya
akan hidup dengan doktrin-doktrin kebencian yang telah tertanam?
Perbedaan
akan agama merupakan salah satu anugerah Tuhan terindah di muka bumi di samping
multikulturalisme. Kemajemukan agama-agama yang tumbuh dan berkembang di bumi
Nusantara telah menjadi sorotan dunia bahkan panutan akan toleransi yang
terjalin di dalamnya. Terutama bagi negara-negara yang sedang mengalami krisis toleransi
bahkan konflik keberagaman.
Akhir-akhir
ini konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) tengah menjadi
perbincangan hangat di semua kalangan khususnya masyarakat Indonesia. Pembahasan
agama menjadi topik sensitif yang perlu diperhatikan. Perlu diingat kembali
bahwa perjuangan para founding fathers
dalam menyatukan setiap umat beragama di Indonesia sangatlah memeras pikiran.
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
telah mengalami perubahan yang lebih bersifat universal menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Perubahan tersebut secara
otomatis telah menghilangkan sifat diskriminatif. Sehingga mampu untuk
mencerminkan pluralitas di Indonesia.
Setiap
agama tentu bertujuan dalam kebaikan begitupun ajaran-ajarannya. Di samping itu
setiap umat beragama tidak jarang akan menganggap bahwa agamanya adalah yang
paling benar dibandingkan dengan agama yang lain. Sehingga apabila terdapat
pergesekan yang melibatkan permasalahan agama, tak pelak memunculkan adanya
konflik. Dan isu-isu seperti ini akan dengan mudah menjalar di kalangan masyarakat
luas yang akhirnya memancing setiap kelompok beragama berbondong-bondong
memberikan pembelaan kepada kelompok agamanya.
Keegoisan,
emosi sesaat, nafsu terkadang telah menutup hati dan mata sehingga tak mampu
untuk melihat sisi yang lain. Perilaku-perilaku negatif hasil dari gejolak
pribadi tak jarang menimbulkan efek anarkis yang merugikan setiap lini
kehidupan. Manusia yang tidak tahu menahu menjadi korban, begitupun bidang
politik, ekonomi, sosial dan sebagainya turut terseret ke dalamnya akibat dari
tindakan gegabah. Saat ini di mana krisis toleransi tengah menerjang sangat
membutuhkan hadirnya para bijaksana, para pemikir luas, dan para adil untuk
dapat menjadi panutan dan pembimbing masyarakat atas kebingungan yang terjadi. Masyarakat
harus segera dipahamkan dan disadarkan akan kondisi bangsanya yang
beranekaragam untuk dapat berintegrasi dan bergandengan tangan guna menciptakan
kedamaian dan menjauhi saling hujat.
Bangsa
Indonesia sudah saatnya untuk unjuk gigi memberikan fakta terhadap toleransi
keberagaman yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Bukan sekedar wacana yang
diumbar pada khalayak dunia. Fenomena antara Palestina dan Israel, Aleppo,
Suriah, dan negara-negara yang sedang mengalami konflik lainnya seharusnya
telah memberikan gambaran jelas dan keras, bahwa membina perdamaian bukanlah
hal mudah. Berharganya nilai nyawa setiap detik turut dipertaruhkan dengan
harap cemas akan nasib nyawa di detik selanjutnya. Mencegah, menjaga, dan
mengobati setiap kemungkinan konflik yang terjadi menjadi kewajiban bersama
masyarakat Indonesia untuk mencapai kedamaian yang diidam-idamkan. Membuang
segala keegoisan dan membalutnya dengan keikhlasan, kasih sayang dan cinta.
Membuang prasangka-prasangka buruk dan benci dan menggantinya dengan prasangka
baik dan suka. Percayalah akan segala kehendak Tuhan, dengan tetap menebar
kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Harapan bumi Nusantara yang
berpayung kedamaian dan cinta kasih pun akan terwujud.
penulis : Widya Resti Oktaviana
Tulisannya sudah bagus. Akan lebih baik lagi jika diselingi sedikit nuansa sastrawi. Semangat belajar dan salam komunikasi☺
BalasHapus