Padepokan bumi langit yang bertempat di Jalan Imogiri-Mangunan Km. 3, Desa Giriloyo, Wukisari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini dibangun dengan latar belakang yang unik. Padepokan yang bernuansa pedesaan ini dibangun oleh seorang pria berkebangsaan Inggris yang beranama Iskandar Waworuntu pada tahun 2000.
Asal mula pedepokan ini adalah
didasari oleh perjalanan spiritual bertahap hingga mengantarkan pada kebenaran yang sebenarnya. Pria yang kerap disapa Pak Iskandar ini, mengaku telah tergugah hatinya untuk memeluk agama islam setelah melewati berbagai rintangan dalam hidupnya. Beranjak pemikiran dan pemahamannya tentang islam mengatarkannya untuk membangun padepokan bumi langit sebagai bentuk aktualisasi dirinya dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin modern.
Beliau mengaku turut prihatin dengan perkembangan zaman modern yang seolah-olah mendewa-dewakan teknologi industri, segalanya serba instan tanpa mempertimbangkan kesesuaian mana yang khaq dan bathil.
“Jadi kita pun tidak tahu dari mana barang tersebut berasal dan atas niat yang tidak kita ketahui.” Ungkapnya ketika ditemui di padepokan bumi langit belum lama ini.
Padepokan bumi langit ini merupakan padepokan yang mengembangkan pertanian terpadu dengan sistem permacultur. Permacultur disini berarti bahwa kesadaran dan pemeliharaan terhadap sebuah ekosistem pertanian yang didalamnya terdapat keberagaman, daya tahan, dan stabilitas. Secara philosophy diibaratkan seperti kerjasama antara manusia dengan alam, dan bukan menentang alam.
Sisi lain yang tersembunyi di balik bumi langit ini, Pak Iskandar memiliki pedoman mantap akan Islam Rahmatan Lil Alamin. Dimana pedoman islam ini berwujud pada menjaga dan memelihara terhadap anugerah alam yang diberikan oleh Allah SWT.
Dalam pembagian ruangan padepokan ini memiliki makna tersendiri, yakni antara ruang tamu (bumi langit luar), ruang keluarga dan pribadi (bumi langit dalam) diartikan sebagai proses bertahap mensucikan diri secara lahir dan batin. Ruang tamu ini memungkinkan kita untuk saling berhubungan dengan dunia luar untuk bertabayyun, syiar serta memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi oleh diri sendiri. Di ruang keluarga sudah mulai menerapkan konsep memasak yang dibatasi hanya direbus, dipanaskan oleh api, asap, sekam, atau uap air, agar mengurangi ketergantungan dengan dunia modern. Selanjutknya di ruang keluarga sudah tidak lagi menerapkan konsep memasak, semuanya berasal dari alam secara langsung.
Semua konsep ruangan yang tergambarkan tersebut hanyalah untuk berusaha memenuhi kebutuhan sendiri (menerapkan permakultur) agar menegakkan tulang sulbi, yaitu makan jika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Jika dalam pengkonsumsiannya terdapat surplus hanyalah rezeki orang lain yang dititipkan Allah melalui kita.
Harapannya dengan penerapan yang berbasis alam ini akan dapat menyeimbangan alam semesta sebagaimana bentuk aplikasi dari Rahmatan Lil Alaminta. Bukan semata-mata tidak menyukai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi memcoba memanfaatkannya ke arah pemeliharaan yang baik. (crew)
Penulis: Ulfa Anjarwati
Kontak
Instagram: @ulfa_anjarwati
Twitter: @ulfaanjarwati
Facebook: ulfaa anjarwati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar