“Memanusiakan Manusia ”
Ya, ungkapan di atas seolah menjadi peribahasa sosial sebagai usaha
untuk saling menghargai antara manusia satu dengan yang lainnya. Apalagi jika
kita berbicara tentang sosok perempuan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) penggunaan kata wanita sudah mewakili sebutan bagi kaum hawa. Bisa
dibilang kata wanita sudah memenuhi standar etika dalam sebuah panggilan. Akan
tetapi sesuai dengan perkembangan jaman, penggunaan sapaan wanita cenderung
bernilai rendah atau terkesan negatif. Maka sebutan perempuanlah yang relevan
dalam KBBI sekarang ini.
Seorang perempuan yang familiar dengan perasaan sensitifnya ini,
menginginkan perhatian dari orang sekitar. Baik itu dari orang tua, teman atau
suaminya kelak. Bukan berarti perempuan itu sosok orang yang manja, yang selalu
ingin diperhatikan orang lain. Jika kita sedikit mengulas sebelum masa
perjuangan R.A. Kartini, perempuan seolah tidak ada harganya di mata halayak.
Bak seekor burung yang terdiam dalam sangkarnya. Tetapi setelah adanya
perjuangan beliau, peran perempuan mulai terlihat dari bilik-bilik nan menyuramkan.
Secara normatif perempuan dan laki-laki diciptakan dalam porsinya
masing-masing. Titah seorang pemimpin yang melekat pada laki-laki tidak bisa
ditorer dengan alasan apapun. Tetapi bukan berarti perempuan tidak memiliki
kesempatan untuk berkarya. Istilah perempuan dijadikan dari tulang rusuk
laki-laki beresensi bahwasannya antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang
dilahirkan lebih dulu. Jadi laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang
sama untuk saling diakui keberadaannya.
Perempuan belum dikatakan sukses jika tidak bisa membimbing putra
putrinya kelak. Memang benar adanya tugas tersebut adalah tanggung jawab kedua
orang tua, tetapi bahasa ibulah yang pertama kali melekat dibanding bapak. Coba
kita tanya pada anak-anak sekarang ini, tipe gedget apa yang paling menarik.
Sampai-sampai penulis kalah karena ke-gaptek-kannya.
Faktor lingkungan yang semakin ekstrim harus diminimalisir dengan
tingkat perhatian orang tua kepada si anak. Mata pelajaran agama yang mereka
temui satu minggu sekali di sekolah tidak mencukupi tingkat religiusitas.
Yang paling miris jika orang tua mempercayakan anak kepada baby sister. Karena
kesibukannya dalam bekerja, sedikit sekali waktu yang digunakan untuk bersama
sang buah hati. Apa yang menjadi sifat dan sikap dari pengasuhnya akan diikuti
oleh anak. Karena pada masa golden age, anak paling mudah dalam proses
meniru. Apalagi terhadap orang terdekatnya, mudah sekali pengaruh itu
berkembang. Berperan sebagai aktifis atau bahkan sampai menjadi wakil rakyat,
tentu porsi kegiatan di lapangan semakin padat. Kesegaran politik harus dia
ciptakan demi mewakili masyarakat yang pro dengannya.
Ketenaran sosok perempuan di mata publik tidak akan berarti apa-apa
selama tanggung jawab utamanya belum dipenuhi. Tak ada satupun yang bisa
melarang perempuan untuk berkarya. Selama tidak melanggar syari’at yang sudah
ditentukan. Karena “live is choice !”. (crew)
Na’imatus Sa’diyah
Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar