Kata gatot tentu sudah tidak asing lagi bagi kita, baik oleh masyarakat awam maupun insan akademis. Saat pertama kali membaca atau mendengar kata “gatot” apa yang tergambar dibenak kalian? Istilah atau ungkapan karena gagal menjalankan misi “gagal total”, nama teman kalian, anak kalian, tetangga kalian, anak tetangga kalian, anak teman kalian, anak teman tetangga kalian, atau kalian ingat ‘gatot’ sebagai salah satu tokoh dalam cerita silam “gatot kaca”? atau mungkin kalian bakal langsung ngeh kalau gatot itu nama makanan?
Kalau salah satu dari hal itu ada yang tersirat dibenak kalian, itu membuktikan bahwa kalian orang Indonesia. Karena cuman di Indonesia penggunaan nama ‘unik’ itu diabadikan.
Tulisan ini bakal membahas ‘gatot’ sebagai nama makanan di Indonesia. Kalian tahu gatot? Kalau jawab nggak, itu nggak mengindikasikan kalian bukan orang Indonesia. Karena gatot memang makanan khas yang tidak semua orang bisa membuat, mencicipi, dan menyukainya. Karena itu gatot tidak akan ditemukan disembarang tempat di Indonesia.
Gatot merupakan makan khas warga Gunung Kidul, Yogyakarta yang terbuat dari Ubi Kayu. Berdasarkan bahan dasar dan proses pengolahannya, gatot memiliki saudara bernama tiwul. Untuk beberapa alasan mungkin tiwul lebih dikenal dari pada gatot. Nama gatot disematkan pada makanan ini karena kegagalan petani ketika mengolah ubi kayu menjadi gaplek. Tahu apa itu gaplek? Gaplek itu ubi kayu yang dijemur kering sebelum diubah menjadi tiwul atau tepung. Ketika proses pen-jemur-an singkong, hujan turun sehingga muncul beberapa jamur dan makhluk mikroskopis lainnya pada singkong dan mereka menghitamkan singkong. Sedangkan singkong kering yang dibutuhkan adalah singkong berkualitas tinggi (berwarna putih) bukan yang berkualitas rendah (hitam). Berawal dari kegagalan inilah, makanan gatot ada sampai saat ini.
Menurut cerita yang berbeda, gatot ini merupakan hasil kegagalan petani memanen padi. Karena ketika itu sangat sulit mendapatkan makanan, akhirnya dibuatlah gatot. Ungkapan gagal total untuk kegiatan panen padi.
Kenapa makanan ini menjadi makanan khas gunung kidul? Karena tanah di gunung kidul tergolong sulit untuk ditumbuhi dan ubi kayu menjadi salah satu tumbuhan yang mampu bertahan hidup di lahan sulit tersebut. Dari segi tekstur, gatot yang berwarna hitam lebih kenyel-kenyel ketimbang yang kuning. Tekstur unik tersebut muncul berkat bantuan dari makhluk mikroskopis ketika proses penjemuran tadi. Karena terdapat jamur dan bakteri bukan berarti makanan ini berbahaya. Justru kalau ditilik kandungan karbohidrat dan manfaatnya gatot jauh lebih sehat ketimbang makanan cepat saji. Kalau masih ragu, buktikan saja sendiri. Konsumsi satu piring penuh, kalau kamu keracunan itu bukan salah makanannya tapi salah kamunya yang nggak mampu menawar racun. Masih ragu juga? Liat orang tua kita yang dulunya konsumsi tiwul, gatot mereka sakitnya diwaktu yang tepat. Tidak seperti generasi penerus ini. (itu karena kuman yang sudah berkembang). Bukannya sudah ada yang memberikan solusi untuk kuman yang berkembang. Kuman aja berkembang, kamu mau kalah sama kuman?
Oke, kembali ke Gatot.
Percaya ini, buat kalian yang mau diet makan aja gatot tiap hari. Gatot cuman singkong hitam yang dikukus. Jauh dari lemak jenuh, bisa menggantikan nasi. Mengkonsumsi gatot terbukti memberikan efek kenyang lebih lama, kaya karbohidrat, murah lagi. Untuk asin manisnya, itu disesuaikan selera masing-masing saja. Kalau suka asin, tambahkan garam. Kalau suka manis tambahkan gula. Kalau orang tua dulu sukanya yang tawar.
Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, kalau enggak kenal gatot, ya enggak papa. Makanan ini memang populer untuk kalangan orang tua kita. Semenjak nasi dianggap sebagai panganan utama, kepopuleran gatot mulai menurun. Tempat paling mudah untuk menemukan gaplek saat ini adalah di pasar tradisional. Karena ini makanan khas Gunung Kidul DIY, tentu saja pasar tradisional yang dimaksud disini adalah wilayah DIY dan sekitarnya. Disarankan untuk membeli gaplek saja, jangan langsung gatot. Biar lebih berasa, disamping dapat disesuaikan dengan selera pribadi, juga bisa menikmati prosesnya. Karena kita bakal lebih menghargai karya kita sendiri.
Untuk proses pembuatannya sendiri, saya mengambil referensi dari keluarga yang kebetulan bisa membuat gatot. Proses ini pun dimulai dari ubi dalam bentuk gaplek, sehingga proses yang harus dilewati hanya merendam. Tidak harus menjemur dan menghujan-hujani ubi agar tumbuh jamur.
Pertama gaplek direndam dalam air selama 3-4 hari, tujuannya untuk membersihkan gaplek. Air rendaman pun harus diganti setiap harinya. Proses selanjutnya bisa dilakukan jika gaplek sudah lebih mengembang atau mendekati bentuk semula singkong mentah. Setelah itu potong kecil-kecil. Tidak harus menggunakan pisau, cukup di tugel-tugel menggunakan tangan. Karena terkadang sesuatu yang tidak rapi itu lebih menarik :D
Setelah dipotong-potong, gaplek siap dikukus.
Untuk mengkukus sendiri tidak ditakarkan berapa waktunya, yang terpenting gaplek sudah bertekstur lembut dan kenyal. Untuk sentuhan terakhir jangan lupa ditambahkan parutan kelapa. Selain menambah kecantikan gatot, juga memberikan rasa gurih disetiap gigitannya :D. Untuk catatan terakhir, gula dan garam ditambahkan ketitka gaplek sudah menjadi gatot atau ketika ingin mengkonsumsinya. Jangan ditambahkan saat mengkukus. Karena rasa asin dan manis hanya menjadi bagian pelengkap selera.
Sekian tentang gatot, kalau belum pernah mencicipi monggo dicicip. Cobalah untuk mencintai produk dalam negeri. Kala kamu enggak suka rasanya, terus cicipi. Temukan alasan kenapa sebuah makanan bisa menjadi makanan favorit bahkan ciri khas suatu daerah. Tidak perlu mahal untuk sesuatu yang aneh. (crew)
Sekian dari saya
Windi Meilita
Kontak Facebook: Windi Meilita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar