Oleh:
Muhammad Adi Nugroho*
Siapa
yang tidak tahu Yogyakarta? Kota yang lekat dengan predikat kota pelajar dan
kota budaya. Kenyamanannya terwujud dari
jargonnya, “Yogyakarta Berhati Nyaman”. Kota yang memiliki sejarah panjang yang
bermula dari era Majapahit – Demak – Pajang – Mataram Islam – yang pada
akhirnya sampai pada Ngayogyakarta Hadiningrat. Kota ini mengusung tinggi konsep
“memayu hayuning bawono”. Konsep yang
selama ini diartikan sebagai suatu upaya dalam mencapai keselamatan dan
kesejahteraan hidup di dunia melalui penciptaan keselarasan tatanan hidup antar
sesama manusia dan Tuhan. Begitu pula dengan tata letak bangunan yang ada di
kompleks kraton dan sekitarnya, juga memperhitungkan aspek filosofi, khususnya
kosmologi semesta, hubungan manusia dengan mausisa, manusia dengan alam, dan
manusia dengan Tuhan.
Salah
satu contoh yang mengusug konsep “memayu
hayuning bawono” adalah, Tugu Yogyakarta sampai dengan Kraton. Tugu
Yogyakarta yang terletak di sebelah utara Kraton Yogyakarta merupakan batas
utara Kota Yogyakarta. Tugu ini dibangun
oleh Sri Sultan Hamengkubuono I, pada tahun 1756, dengan bentuk Golong –
Giling ( golong=berbentuk bulat, pada bagian atas;giling=berbentuk pilar yang
meruncing ke atas). Menurut Muhammad, salah seorang pengelola Kraton
Yogyakarta, Golong – Giling mempunyi makna flosofis habluminallah (hubungan
manusia dengan Tuhannya) dan habluminnannas (hubunan manusia dengan manusia).
Pada tahun1867 terjadi gempa bumi yang menyebabkan, bangunan ini megalami
kerusakan yang cukup berat. Kemudian pada tahun 1889 bangunan ini di pugar oleh
Sri Sultan Hamegkubuono VII, tapi
bentuknya diubah seperti tugu yang kita lihat sekarang ini.
Keindahan
bangunan ini tidak berhenti sampai di Tugu Yogyakarta saja. Akan tetapi ada
lagi jalan sepanjang 2 km yang menghubungkan tugu dngan kraton. Jalan ini juga
memiliki makna filosofis yang tetap megusung konsep “memayu hayuning bawono”.
Makna filosofis dari jalan ini bukan teretak pada bangunan jalannya, teapi tersirat
dari nama jalannya. Ada empat nama jalan yang menghubungkan tugu Yogyakarta
sampai dengan Kraton. Nama jalan itu adalah Jl. Margo Utomo – Jl. Malioboro –
Jl. Margo Mulyo – Jl. Pangurakan.
Budaywan
Emha Ainun Nadjib – ketika saya mendengar dan melihat “orasi budayanya” pada
acara Panghargyan 1 Abad Sri Sultan Hamengkubuono IX, 12 April 2012 – meberikan
interpretasi mengenai makna filosofi yang tersirat dari keempat jalan ini.
1. Margo
Utomo (sekarang Jl. Pangeran Mangkubumi)
Jalan
ini dimulai dari tugu sampai dengan rel kreta apai (stasiun tugu). Secara
etimologis kata margo utono ini berasal dari kata margo (margi/mergi) yang
berarti jalan. Sedangkan utomo berarti utama. jadi margo utomo ini berarti
jalan keutamaan. Makna secara filosofisnya adalah manusia harus mengerti
keutamaan dan berjalanlah dalam kebaikan, jadi harus bias memilih mana yang
baik dan buruk.
2. Jalan
Malioboro
Jalan
ini dimulai dari rel kereta api sampai Toko Batik Terang Bulan. Malioboro ini
berasal dari kata malio yang berarti jadilah
wali. Seperti orang yang di suruh membuat warung, maka pereintahnya adalah mrungo. Begitu pula
dengan malio, orang disuruh untuk menjadi wali. Kemudian boro, yang berasal dari kata ngumboro
(mengembara). Jadi makna Malioboro secara etimologis adalah jadilah wali yang
mengembara. Setelah memilih jalan keutamaan (margo utomo), hendaklah ikuti
ajaran wali dan jadilah wali dengan menyebarkan ajaran para wali, sebagaimana
pengembara yang berjalan untuk menerangi kehidupan umat manusia.
3. Jalan
Margo Mulyo (sekarang Jl. Ahmad Yani)
Jalan
ini dimulai Toko Batik Terang Bulan sampai titik 0 km (perempatan kantor pos
besar). Kata margo mulyo berasal dari kata margo
yang berarti jalan, seperti yang sudah diungkapkan di atas, sedangkan mulyo berarti kemuliaan. Secara
etimologis margo mulyo berarti jalan kemuliaan. Setelah menemukan keutamaan
hidup dan mengajarkan kebaikan menurut ajaran wali, maka akan diperoleh jalan
kemuliaan.
4. Pangurakan
(sekarang Jl. Trikora)
Jalan
ini dimulai dari 0 km (Kantor pos besar) sampai alun – alun utara keraton. Pangurakan
berarti menolak, membuang, mengusir. Secara filosofis pangurakan berarti
melepaskan hawa nafsu yang berhubungan dengan keduniaan.
Setelah
melewati keempat jalan itu sampailah ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Seseorang
calon raja yang sudah bisa menempuh keempat
jalan itu pada akhirnya akan jumenengan di Bangsal Manguntur Tangkil (tempat
singgasana raja). Uniknya lagi, tugu sampai dengan kraton (singgasana raja)
berada dalam satu garis lurus /simetris (imajiner), yang bermakna seorang
sultan akan selalu mengingat rakyatnya.
@@@
Diolah
dari: Heryanto, Fredi. 2009. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Yogyakarta: Warna Mediasindo
*Mahasiswa
KPI 2011 UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar