Gegap gempita dengungan terompet perayaan pesta tahun baru 2016 rasanya baru kemaren, setelahnya, di usia tahun baru yang masih belia, bangsa ini dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa yang mengerikan sekaligus mengejutkan dan menjengkelkan pula. Peristiwa itu berupa teror bom bunuh diri di Sarinah yang didalangi Negara islam di Irak dan Suriah dan aksi Ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) serta yang terbaru dengan munculnya trend di masyarakat tentang pasangan sesama jenis yang biasa disebut dengan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Sederetan peristiwa ini setidaknya mewakili wajah buram keadaan masayarakat Indonesia secara sosio-religiositas. Indonesia sebagai bangsa besar yang dibangun diatas pondasi keberagaman masih sangat rentan, belum ‘kebal’ terhadap virus-virus yang terus merongrong keharmonisan. Kedepan, selain konflik perbatasan dan kedaulatan bangsa, tantangan yang harus diwaspadai adalah konflik horisontal, yaitu terjadinya disharmonisasi antar masyarakat.
Apalagi di era virtual saat ini, melalui keramahan teknologi dan media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang budaya dan nilai baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Arus informasipun beredar dengan sangat cepat dalam dunia virtual, bahkan kecepatan informasi ini yang terkadang tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk menyerapnya, informasi datang begitu cepat, begitu gencar, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan kewalahan untuk dapat diserap oleh pikiran manusia (yasraf pilliang :Dunia yang dilipat : edisi ketiga 2011).
Padahal kita menyadari, belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa beradab harus berpijak, banjir informasi tentang agama dan budaya yang melaju bersama media atas nama globalisasi, tidak jarang membawa sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.
Maka jangan salahkan, jika paham-paham baru-aneh mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan, karena ladang basah lewat dunia virtual tumbuh dengan suburnya. kita pada akhirnya hanya bingung dan panik karena dunia bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Indonesia Perahu Peradaban
Indonesia ibarat sebuah perahu, maka perahu ini berupa perahu peradaban yang terus mengapung ditengah-tengah samudra global, dengan gelombang-gelombang ganas yang siap menghantam. Tatanan budaya dan kearifan lokal yang sedikit demi sedikit mulai tergerus, ini seperti perahu mengapung yang dek nya sudah bocor dan tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, perahu yang kita tumpangi bernama Indonesia ini sedang diterjang, dihantam, diserang dan teromabang-ambing dilautan. Ketika perahu ini kehilangan kompas atau kaptennya gagal, maka kematian siap menjemput semua penumpang didalamnya.
Revolusi mental yang didengungkan sang kapten nyatanya belum cukup ampuh untuk membangkitkan jiwa kesadaran murni, apalagi dehumanisme yang terus menjalari nalar-nalar pikir masyarakat masa kini, kita di paksa untuk berseragam, tetapi keseragaman yang selalu ditawarkan hanyalah keseragaman sensual tanpa substansial. Maka jangan heran jika ukuran keshalehan saat ini hanyalah sesuatu yang tampak secara dohir, yang bisa melabeli identitas seseorang bertakwa sebatas pakaian, sorban, jidat hitam, bibir pucat mengaku puasa, sholat dimasjid yang megah, shodakoh yang di pamerkan, dan gelar haji yang ditonjolkan. Itu semua karena islam yang dianut masih sebatas islam label. Masih senang untuk dipuji, disanjung, dihormati, dicium tanganya, bahkan barangkali menginginkan juga semua fatwanya diamini layaknya nabi generasi kontemporer.
Kalau sekali saja kita mau merunduk, mencari
solusi bukan untuk mencaci maki, menghidupkan lagi ruang-ruang spiritual, petuah tentang moral kembali lagi diceritakan dan merangkul bukan untuk menyalahkan. Maka harmonisasi dan keselaran hidup masih akan kita wariskan untuk masa yang akan datang.
Harusnya masing-masing dari kita saling membahu menambal dek yang telah bocor itu, bukan mengumpat dan saling menyalahkan. Layar harus dikembangkan, mari malihat indahnya cakrawala sehingga perahu ini tidak kehilangan arah, karena sampai kapanpun perahu bernama Indonesia ini harus tetap berlayar mengarungi zaman dan melintasi samudra peradaban. Semoga! (crew)
Penulis: Ahmad Syarifudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar