Kamis, 21 Mei 2015

DAKWAHTAINMENT: ANTARA AYAT TUHAN DAN INDUSTRI MEDIA

      
Ada fenomena menarik dalam industri media, khususnya pada saat bulan Ramadhan. Hampir semua stasiun televisi yang ada di Indonesia berlomba-lomba untuk menciptakan dan menyuguhkan program-program yang bernuansa religius. Seorang artis yang biasa keseharian tampil seksi, untuk konsumsi program siaran Ramadhan “dipermak” menjadi seseorang

       dengan balutan busana muslimah sebagai simbol wanita “solehah”. Demikian pula yang laki-laki, yang biasanya berpenampilan dengan gaya-gaya Eropa, berubah dengan pakaian agamisnya, songkok, hingga sarungnya yang mengidentikkan sebagai seorang muslim (taat/santri).

      Ketika Ramadhan telah usai, maka semua berubah kembali seperti sedia kala. Si Seksi kembali memakai pakaian seksi, seolah dia tidak pernah memakai busana muslimah seperti yang dilakukannya untuk berpenampilan di bulan Ramadhan. Hal ini merupakan gambaran nyata dalam kehidupan industri televisi kita. Uniknya lagi, pemirsa justru sangat menikmati fenomena tersebut. Bahkan, sering terjadi adopsi dan hegemoni mode atas apa yang terjadi pada sang artis. Kerudung/jilbab “Munajat Cinta”, yang juga ada pada sinetron “Sholehah” menjadi sangat popular hingga menjadi target pemenuhan kebutuhan bagi para wanita, baik itu remaja maupun ibu-ibu rumah tangga untuk memiliki kerudung “munajat cinta” tersebut.

      Sebagai umat beragama, seorang muslim memang membutuhkan penambahan atau pencerahan pada wawasan keagamaannya. Televisi yang sudah hadir di setiap rumah, menangkap hal ini sebagai peluang untuk mendapatkan khalayak atau pemirsa. Di sinilah kelihaian stasiun televisi untuk merasa benar-benar dekat (dibutuhkan) bagi masyarakat agama. Bagi

      industri media, maka yang terjadi adalah eksploitasi terhadap tercapainya tujuan tersebut karena industri media tidak terlalu mementingkan isi, materi, atau nilai yang terkandung dalam program siarannya, melainkan rating dan keuntungan. Sedikit sama dengan masyarakat saat ini, bahwa pemirsa akan lebih memilih acara (dakwah) menarik, yang bukan hanya bermuatan nilai-nilai religius, tetapi juga mampu mengobati kepenatan dari aktivitasnya sehari-hari. Bila dalam bulan Ramadhan, maka acara yang dipilih cenderung program yang dapat melupakan rasa laparnya, hingga tidak terasa buka puasa pun tiba.

      Untuk menjembatani hal tersebut, maka tidak jarang stasiun televisi yang bersedia mengontrak dai kondang selama sebulan penuh untuk tayangan acara menjelang buka puasa, sahur, dan roadshow. Ada juga dengan cara mengontrak sejumlah artis kondang untuk tayangan khusus paket lebaran. Pokoknya, media massa penyiaran telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan istimewa untuk meningkatkan rating dan meraih untung.
      Demikian pula dengan dakwahtainment merupakan gejala perubahan mendasar dari model produksi dakwah (dari sudut pandang Islam) dan membuat celah atau pasar baru bagi masyarakat massa (dari sudut industri media). Dakwahtainment dapat dipandang sebagai sebuah bentuk “industri dakwah kreatif”, juga telah menembus tren baru, sebuah tren yang digemari anak muda, khususnya dalam penyampaian dakwah. Kita dapat melihat Jefri al-Buchori menjadi sangat digandrungi oleh semua kalangan, khususnya anak muda. Bahkan, mereka yang tidak berjilbab, tidak bersarung, atau masyarakat (Islam) awam. Sapaan yang tidak lazim sebagai seorang ustadz pun melekat pada dirinya, Uje. Uje dikenal sebagai “ikon” ustadz gaul. Di sisi lain, dakwahtainment juga menjadikan imbas bagi lahirnya postfordist-postfordist baru. Adanya kerudung “munajat cinta” adalah imbas yang mengarah pada post-fordist baru kerudung yang tren, kemudian digandrungi oleh kalangan wanita, bahkan bukan hanya remaja, tetapi juga ibu-ibu rumah tangga. Baju koko “Jefri18” juga contoh lain, atas imbas dakwahtainment. Kini semua kalangan, dari anak-anak hingga dewasa merasa, menjadi modis, tren manakala memakai baju koko “Jefri”. “Anak saya kelihatan lebih keren dengan baju ini,” kata seorang ibu yang sering memakaikan baju koko “Jefri” kepada anaknya yang baru berumur 3 tahun. Seorang bayi (3 tahun) dipaksa untuk menjadi keren sebab akan lahir image, prestise (kelas sosial tertentu) tertentu manakala baju koko itu dipakai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar