Senin, 02 Januari 2017

Bangga Jadi Anak Daerah

            Sungai, sawah, hujan, lumpur, pohon, kini tak lagi menjadi sahabat para sobat kecil. Kotor, banyak kuman, nanti sakit, telah menjadi alasannya. Gadget, smartphone, hadir menggantikan luasnya taman bermain alam tersebut. Mereka memilih untuk mengurung diri di kamar dan sibuk dengan perangkat elektronik masing-masing. Masa-masa bermain di mana alam sebagai penyedia sarana kini telah sepi dari teriakan dan kejar-kejaran mereka. Banyak orang tua yang memilih mall sebagai tujuan mengajak putra putri mereka sembari memenuhi hasrat shopping.
            Merasa bangga menjadi anak metropolitan yang sarat akan keglamoran dan malu jika mengaku berasal dari kampung apalagi kampung yang berada di pelosok. Apakah memori masa kecil di mana kegembiraan bersama alam daerahnya begitu saja sirna tergerus gemerlap dunia baru? Miris memang. Namun begitulah realita yang ada saat ini. Sebenarnya kemajuan zaman tak harus menggeser dan merendahkan keberadaan lokasi minoritas. Namun diperlukan adanya kearifan bagi setiap individu untuk memaknai apapun yang ada di sekelilingnya. Apalagi suatu daerah di mana daerah itu adalah tanah tempat kelahirannya. Menghabiskan masa kecil bersama alam daerahnya, sosialisasi yang erat dengan warganya, hidup dalam kegotong royongan, tentu menjadi hal yang merugikan jika harus disingkirkan bahkan dilupakan. Dan akhirnya memilih berstatus menjadi manusia metropolitan, yang sebenarnya jauh dari kenyamanan batin bahkan mengedepankan individualisme.
            Kemajuan zaman memang tak seharusnya ditolak karena inilah pembuktian dari serentetan penggalian ilmu. Namun tak sedikit yang memaknai bahwa kemajuan zaman berarti harus beralih atau berpindah dan meninggalkan apapun yang ada di belakangnya. Nah inilah yang mengakibatkan adanya kelangkaan bahkan kepunahan. Sehingga sering kita temui bentuk-bentuk usaha pemerintah untuk kembali melestarikan dan mengadakan kembali baik itu budaya daerah, makanan tradisional, dan sebagainya. Salah satu fenomena yang ada saat ini yakni, bila zaman dahulu di Jawa penggunaan blangkon, surjan, jarik, kebaya adalah hal yang lumrah, namun jika perlengkapan tersebut digunakan saat ini yang terjadi adalah dirasa aneh, malu, bahkan ditertawakan. Sehingga perlengkapan tersebut hanya digunakan dalam acara-acara tertentu seperti pernikahan, hari Kartini, dan sebagainya. Sehingga hadirnya kemajuan zaman turut mempengaruhi mental setiap individu. Terkhusus dalam hal ketidaksiapan pengakuan status sebagai anak daerah.
            Jadi, ayolah! Jangan pernah merasa malu untuk mengakui asal muasalmu. Walaupun kamu lahir di pucuk gunung sekalipun. Berbanggalah dengan daerahmu yang menyimpan banyak keistimewaan yang dapat kamu pamerkan pada orang-orang di luar daerahmu. Yang tentunya akan memberikan dampak positif bagi daerahmu kelak. Jangan pernah melupakan keseruanmu bermain air di sungai, memanjat pohon, kejar-kejaran dengan teman, bermain hujan-hujanan sampai bermain lumpur sekalipun. Karena itulah keasyikan yang kamu ciptakan sendiri dibandingkan dengan gadget ataupun smartphone yang telah diprogram sebelumnya dan kamu tinggal menikmatinya saja.

Oleh: Widya Resti Oktaviana



Tidak ada komentar:

Posting Komentar