Teladan dan Refleksi Profesi Wartawan
Judul : Yogya Bercerita ; Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro
Penyunting : Sutirman Eka Ardhana
Penerbit : Tonggak Pustaka
Tahun terbit : Februari 2017
Jumlah halaman : 294 halaman
Cetakan ke : pertama
Melalui kisah pengalaman dari 40 wartawan sepuh Yogyakarta, kita akan mendapatkan pemahaman tentang dunia kewartawanana secara real di lapangan. Ada wartawan dari Kedaulatan Rakyat, Suluh Marhaen (Sekarang Bernas), Harian Masa Kini, Minggu Pagi, Suara Karya, Harian Eksponen, Republika, Suara Merdeka, Harian Antara, dan TVRI. Dari beberapa surat kabar tersebut, ada sebagian surat kabar yang sudah gulung tikar, dan ada juga yang masih eksis sampai sekarang.
Profesi wartawan memang bukan profesi yang mudah. Bahkan, penuh resiko kekerasan, terutama pada masa Orde Baru, dimana kebebasan pers saat itu masih menjadi barang mahal. Mulai dari diberlakukan nya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sampai pada keharusan wartawan untuk menjadi anggota PWI. Karena pada masa Orba, hanya ada dua organisasi wartawan yang diakui oleh pemerintah. Yaitu PWI (persatuan wartawan indonesia) dan SPS (serikat penerbit surat kabar). Belum lagi kesulitan dan bahaya yang dialami wartawan ketika melakukan liputan di daerah rawan konflik. Mereka harus menggunakan rompi biru, untuk keamanan diri. Ada juga wartawan yang menceritakan pengalaman nya ketika ingin wawancara dengan presiden Soeharto, tapi harus mengikuti prosedur yang luar biasa sulit. Juga pengalaman wartawan, ketika malam-malam didatangi sekelompok orang tak dikenal, yang membawa senjata, sembari menggertak. Alasan kedatangan mereka karena tidak terima dengan pemberitaan yang ditulis oleh wartawan tersebut. Padahal, seharusnya kalau seseorang (objek berita) tidak terima dengan pemberitaan tentang dirinya, dia dapat melakukan hak jawab, tanpa harus melakukan teror terhadap wartawan.
Bahkan, ada kutipan dari seorang wartawan tentang bagaimana kesulitan menjalankan profesi wartawan pada masa Soeharto. “Dimasa orba, wartawan penuh dengan tekanan oleh aparat. Pemerintah sangat protektif terhadap isi berita, bahkan kalimat demi kalimat. Meskipun itu sifatnya teknis”. Memang begitulah gambaran kondisi pers, pada masa orde baru. Tidak jarang pula, pemerintah melakukan pembredelan ke beberapa media. Meskipun demikian, dengan ketatnya peraturan pemerintah terhadap pers, wartawan bisa menjadi sangat bertanggungjawab terhadap tugas-tugas nya. Namun, tetap saja bekerja di bawah tekanan itu bukan hal yang menyenangkan.
Dari 40 wartawan yang berkisah, ada 5 wartawan perempuan. Pengalaman mereka pun cukup menarik. Karena jumlah wartawan perempuan memang selalu lebih sedikit dibandingkan wartawan lelaki. Ada yang bercerita tentang pengalaman nya melakukan liputan dengan narapidana kelas kakap. Disebut kelas kakap, arena narapidana ini memang termasuk yang paling lama masa tahanan nya. Juga pengalaman ketika melakukan wawancara dengan waria, dan ada pula yang pernah menjadi kepala pemberitaan di TVRI Surabaya.
Selain berbahaya, profesi wartawan juga merupakan profesi yang menguntungkan. Karena dengan menjadi wartawan, mereka akan sering bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari tukang becak sampai presiden. Sehingga, wartawan mempunyai pengalaman bertemu dengan orang-orang dari berbagai kelas sosial, dan membuat mereka mempunya banyak jaringan atau relasi. Ini lah salah satu keuntungan menjadi wartawan. Selain itu, jika si wartawan mendapatkan tugas meliput di luar negeri, itu juga menjadi bonus bagi wartawan untuk menjelajah dunia tanpa menguras kantong. Karena untuk biaya akomodasi dan lain-lain nya, sudah ditanggung perusahaan.
Menjadi wartawan, juga dituntut untuk mempunyai beberapa kemampuan. Seperti kemampuan berbahasa inggris, mempunyai banyak pengetahuan, harus senang membaca, senang menulis, dan harus berani. Berani berkata benar jika itu memang benar, dan berani berkata salah jika itu memang salah. Beberapa kisah menarik yang saya dapatkan adalah kisah Pak Sutirman ketika wawancara dengan pedagang sukses. Si pedangang menyatakan bahwa kunci sukses dagang nya adalah karena dia mempunyai andeng-andeng di bawah pusar. Bahkan, dia sampai memperlihatkan andeng-andengn nya itu kepada Pak Sutirman, selaku pewawancara. Tentu hal itu membuat Pak Sutirman shock. Ada juga pengalaman Pak Eko yang waktu itu menjabat sebagai ketua PWI Yogyakarta. Dia menyatakan bahwa merawat wartawan itu sulit. Pada waktu itu, pak Eko berencana mendirikan perumahan untuk wartawan. Karena pak Eko melihat banyak wartawan yang merasa kesulitan untuk mencari tempat tinggal. Hanya saja, respon dari wartawan nya sendiri yang tidak mendukung. Niat Pak Eko adalah meningkatkan kesejahteraan wartawan, tapi wartawan nya sendiri sulit untuk diajak sejahtera.
Dari membaca buku ini, saya juga mengetahui hal baru tentang Jogja. Seperti asal muasal terminal Giwangan, yang dulunya itu ternyata adalah tempat lokalisasi, yang disebut sebagai Pesanggrahan (SG). Dahulu, di SG tersebut, juga pernah diadakan lomba MTQ tingkat PSK. Ada pula wartawan yang meliput tentang perjuangan Romo Mangunwijaya dalam menolak penggusuran warga kalicode, yang tinggal di bawah jembatan Gondolayu. Pada waktu itu, demi menolak penggusuran, Romo Mangunwijaya sampai berjanji akan puasa sampai mati.
Dengan membaca pengalaman wartawan sepuh, generasi wartawan muda saat ini, dapat meneladani beberapa hal. Seperti susahnya mempertahankan idealisme, yang pernah dialami oleh Muchtar Lubis. Waktu itu, surat kabar yang dipimpin nya, Indoensia Raya, diancam akan ditutup jika menyiarkan skandal korupsi. Tapi mochtar lubis memilih mepertahankan idealisme nya, dengan tetap menyiarkan berita tersebut. Karena baginya, yang paling utama adalah menjalankan tugas jurnalistik dengan benar. Dan memang, setelah menyiarkan berita skandal korupsi, Indonesi Raya dibredel dan ditutup. Tantangan wartawan lainnya adalah menahan diri untuk tidak menerima suap, dan tahan godaan amplop beserta isi nya.
Ada satu kutipan menarik dari wartawan senior, Rosihan Anwar, tentang bagaiaman kita harus memandang profesi wartawan. “Apa yang kau cari wartawan? Bagaimanakah kau memandang peran dan tugasmu dalam situasi sekarang dan perkembangan di tahun-tahun mendatang? Apakah yang kau cari itu kekuasaan dan kejayaan, kedudukan dan kepangkatan, kelayakan dan kesenangan? Atau, adakah yang lain, terasakan ada, terkatakan tidak?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi bahan perenungan kita bersama. Khusus nya bagi para wartawan muda, yang menjalankan tugas nya sebagai alarm atau pengingat pada struktur yang melenceng.
By : Zakiya FR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar