Sungai,
sawah, hujan, lumpur, pohon, kini tak lagi menjadi sahabat para sobat kecil.
Kotor, banyak kuman, nanti sakit, telah menjadi alasannya. Gadget, smartphone, hadir
menggantikan luasnya taman bermain alam tersebut. Mereka memilih untuk
mengurung diri di kamar dan sibuk dengan perangkat elektronik masing-masing.
Masa-masa bermain di mana alam sebagai penyedia sarana kini telah sepi dari
teriakan dan kejar-kejaran mereka. Banyak orang tua yang memilih mall sebagai tujuan mengajak putra putri
mereka sembari memenuhi hasrat shopping.
Merasa
bangga menjadi anak metropolitan yang sarat akan keglamoran dan malu jika
mengaku berasal dari kampung apalagi kampung yang berada di pelosok. Apakah
memori masa kecil di mana kegembiraan bersama alam daerahnya begitu saja sirna
tergerus gemerlap dunia baru? Miris memang. Namun begitulah realita yang ada
saat ini. Sebenarnya kemajuan zaman tak harus menggeser dan merendahkan
keberadaan lokasi minoritas. Namun diperlukan adanya kearifan bagi setiap
individu untuk memaknai apapun yang ada di sekelilingnya. Apalagi suatu daerah
di mana daerah itu adalah tanah tempat kelahirannya. Menghabiskan masa kecil
bersama alam daerahnya, sosialisasi yang erat dengan warganya, hidup dalam
kegotong royongan, tentu menjadi hal yang merugikan jika harus disingkirkan
bahkan dilupakan. Dan akhirnya memilih berstatus menjadi manusia metropolitan,
yang sebenarnya jauh dari kenyamanan batin bahkan mengedepankan individualisme.
Kemajuan
zaman memang tak seharusnya ditolak karena inilah pembuktian dari serentetan
penggalian ilmu. Namun tak sedikit yang memaknai bahwa kemajuan zaman berarti
harus beralih atau berpindah dan meninggalkan apapun yang ada di belakangnya.
Nah inilah yang mengakibatkan adanya kelangkaan bahkan kepunahan. Sehingga
sering kita temui bentuk-bentuk usaha pemerintah untuk kembali melestarikan dan
mengadakan kembali baik itu budaya daerah, makanan tradisional, dan sebagainya.
Salah satu fenomena yang ada saat ini yakni, bila zaman dahulu di Jawa
penggunaan blangkon, surjan, jarik, kebaya adalah hal yang lumrah, namun jika
perlengkapan tersebut digunakan saat ini yang terjadi adalah dirasa aneh, malu,
bahkan ditertawakan. Sehingga perlengkapan tersebut hanya digunakan dalam
acara-acara tertentu seperti pernikahan, hari Kartini, dan sebagainya. Sehingga
hadirnya kemajuan zaman turut mempengaruhi mental setiap individu. Terkhusus
dalam hal ketidaksiapan pengakuan status sebagai anak daerah.
Jadi,
ayolah! Jangan pernah merasa malu untuk mengakui asal muasalmu. Walaupun kamu
lahir di pucuk gunung sekalipun. Berbanggalah dengan daerahmu yang menyimpan
banyak keistimewaan yang dapat kamu pamerkan pada orang-orang di luar daerahmu.
Yang tentunya akan memberikan dampak positif bagi daerahmu kelak. Jangan pernah
melupakan keseruanmu bermain air di sungai, memanjat pohon, kejar-kejaran
dengan teman, bermain hujan-hujanan sampai bermain lumpur sekalipun. Karena
itulah keasyikan yang kamu ciptakan sendiri dibandingkan dengan gadget ataupun smartphone yang telah diprogram sebelumnya dan kamu tinggal
menikmatinya saja.
Oleh: Widya Resti Oktaviana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar