Oleh Agus Setiadi, mahasiswa
Komunikasi dan Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik 2011 Fakultas Dakwah UIN
Sunan Kalijaga
Hidup yang semakin susah jangan
dibuat susah. Itu prinsip yang dipegang Teguh dalam menjalani hidup. Piatu
sejak kanak-kanak, ditingal merantau sang Ayah, dan hanya hidup dengan tiga
adik, membuat Teguh bersikap lebih dewasa dari usianya. Seharusnya ia akan
menjalani ujian akhir SMP. Terjadi kalau dulu selepas SD, dengan biaya yang
tertatih-tatih sebelum Ayah memutuskan untuk meninggalkan keempat anaknya demi
mencari kepingan rupiah, Teguh melanjutkan pendidikan ke SMP.
Teguh masih mempunyai keinginan
untuk sekolah hingga hampir tiga tahun ia lulus SD. Teguh berusaha berdamai
dengan hatinya, dengan keadaan. Ia yakin suatu saat akan kembali melanjutkan
pendidikannya. Satu prioritas Teguh saat ini adalah adik-adiknya tetap sekolah.
Ridho, adik pertama kelas 5. Vita, adik kedua kelas 3 dan Fadhil si bungsu
kelas 1. Setiap hari mereka hidup sederhana di tengah kesederhanaan. Entah
adik-adik Teguh yang sudah mengerti keadaan, atau mungkin pemahaman itu datang
sendiri, mereka tidak banyak meminta ini dan itu.
Saat teman-teman lain seusia mereka
mendapatkan barang yang menjadi impian, adik-adik Teguh tidak ikut latah
karenanya. Mereka sama sekali tidak mengeluh. Tetap bermain dengan teman
sebaya. Tidak pernah mengungkit-ungkit nasib mereka, bahkan tidak pernah
menanyakan kapan Ayah pulang. Terakhir pertanyaan itu terlontar, sebulan
setelah Ayah pergi ke pulau lain di negeri ini. Selama sebulan itu baik Ridho, Vita,
maupun Fadhil selalu menanyakan kapan Ayah pulang. Hampir setiap hari dengan
pertanyaan yang sama. Si bungsu lebih sering bertanya. Teguh dengan sabar
menjelaskan kepada adik-adiknya. Ayah pasti pulang. Suatu saat nanti.
[]
Tiga tahun berlalu dan Ayah belum
sekalipun pulang menemui keempat anaknya. Hanya enam bulan pertama Ayah
mengirimkan uang sekaligus surat yang menanyakan kabar Teguh dan adik-adiknya.
Teguh sudah rindu sekali dengan Ayahnya. Ketiga Adiknya mungkin mempunyai rasa
yang sama, hanya saja mereka ingin menjaga perasaan sang kakak yang berjuang
sendiri demi mereka bertiga.
Pagi itu mereka sarapan dengan
taburan garam. Nasi yang tersisa hanya untuk mereka bertiga. Tanpa banyak kata,
ketiga adik Teguh makan dengan lahap sebelum berangkat ke sekolah. Teguh tengah
memotong-motong kayu bakar untuk dijual. Uangnya lumayan untuk membeli beras
dan beberapa bungkus ikan asin. Ia sebenarnya lapar. Sejak kemarin siang sama
sekali perutnya belum terisi. Kemarin Teguh hanya sempat makan pagi. Selebihnya
ia memikirkan ketiga adiknya. Makanan pagi itu akhirnya habis juga. Makanan
terakhir mereka. Teguh lebih baik tidak makan asalkan adik-adiknya tetap makan.
“Kak, kami ke sekolah dulu ya.”
Ridho berjalan mendekati Teguh yang tengah mengusap peluh di dahinya. Masih
pagi tapi terasa panas bagi Teguh. Sudah sejak subuh Teguh berusaha mencari
kayu bakar, memotongnya, dan saat matahari agak tinggi, kayu-kayu itu akan
dijual ke pasar.
Ridho,
Vita, dan Fadhil mencium punggung tangan Teguh. Rutinitas pamit setelah Ayah
merantau. Mereka bertiga bersekolah di tempat yang sama. Berangkat ke sekolah
bersama dan tidak meminta uang saku. Teguh ingin sekali memberi mereka uang
saku, tapi ia sadar betul, tidak ada sekeping uang pun untuk bekal mereka
selama di sekolah.
Walau begitu, Teguh masih bersyukur
mempunyai sepetak tanah kecil yang terdapat beberapa tanaman singkong dan
tanaman lain yang entah apa namanya. Teguh sering memasak tanaman itu.
membuatnya menjadi sayur menemani jamuan makan yang sederhana. Pagi itu cukup
dengan garam saja karena Teguh belum sempat memasak untuk mereka.
Kayu-kayu siap dijual. Teguh hanya
perlu mengikatnya dan mengangkut menuju pasar yang terletak dua kilometer dari
rumahnya yang sempit. Rumah yang terbuat dari bilik bambu dan penuh lubang,
rumah sederhana yang agak jauh dari tetangga lainnya. Teguh melepas lelah
sambil berusaha melupakan perutnya yang lapar.
Sejenak Teguh melamun. Ingatannya
kembali ke masa lalu, saat Ibu masih ada. Kehidupan mereka tetap sederhana,
tapi kondisinya masih lebih baik. Ayah selalu ada untuk mereka. Bekerja setiap
hari di kebun kecil mereka, menjual hasil kebun apa adanya. Teguh sudah
terbiasa membantu Ayah di kebun dan mencari kayu bakar. Bekal yang membuat
Teguh mampu bertahan hidup di tengah kesendirian kini.
Ibu meninggal saat Teguh kelas 5.
Ibu tidak sakit apa-apa. Ibu pergi begitu saja. Malam sebelumnya Ibu bahkan
masih bersikap biasa. Tidak memerlihatkan perubahan atau keanehan apapun.
Paginya, Ibu tertidur tanpa terbangun. Kehilangan yang membuat Teguh merasa
sendirian. Rasa kehilangan untuk pertama kali.
Tahun pertama kepergian Ibu,
kehidupan berusaha berjalan senormal mungkin. Ayah tetap mengolah kebunnya,
menjual kayu bakar, dan memberikan hasilnya untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Teguh akan menangis mengingat masa lalu
itu. Masa sebelum Ayah pergi merantau dan Ibu pergi untuk selamanya. Teguh
segera menyeka matanya yang mulai basah. Ia tidak akan membiarkan air mata
keluar demi meratapi nasib hidup. Sesulit apapun hidup, Teguh tidak akan pernah
menangis. Ia berjanji kepada dirinya sendiri. Lelaki tidak pernah menangis.
Lelaki selalu kuat.
Ketiga adik Teguh menyisakan sarapan
mereka. Tiga piring yang tergeletak di atas meja, masih menyisakan sedikit
nasi. Mereka sengaja tidak menghabiskannya. Teguh yakin mereka masih lapar.
Nasi pagi itu terlalu sedikit. Teguh tidak keberatan dan rela mereka
menghabiskan sarapan. Ia bisa makan nanti, setelah kayu bakar terjual. Teguh
duduk di lantai. Meja rendah tanpa kursi. Teguh menyatukan sisa sarapan ketiga
adiknya dalam satu piring. Cukup untuk mengganjal perut. Teguh berjanji setelah
kayu bakar terjual, ia akan membelikan makanan yang sedikit lebih enak dari
biasanya, demi sang adik. Teguh yakin kayu bakarnya kali akan terjual dengan
harga yang cukup lumayan. Ia sudah mencarinya sebanyak yang ia bisa.
[]
“Hanya segini Pak?”
“Kau maunya berapa? Itu harga yang
sesuai untuk kayu bakarmu.”
“Tapi Pak…”
“Ah, sudahlah. Pergi saja sana.
Bilang sama orangtuamu, harga kayu bakar sekarang turun.”
Teguh
menelan ludah dan memasukkan uang hasil kayu bakar ke dalam saku. Kayu bakar
yang dibawa Teguh sedikit lebih banyak dari biasanya. Makanya ia yakin bisa
menukarnya dengan uang yang sedikit lebih banyak. Teguh ingin membeli daging
ayam. Walau hanya sedikit, yang penting Teguh bisa mempersembahkan makanan yang
istimewa untuk ketiga adiknya. Selama ini mereka hanya makan nasi dengan ikan
asin dan sayuran dari kebun kecil mereka. Teguh bahkan lupa kapan terakhir kali
makan daging ayam.
Uang hasil kayu bakar kali ini hanya
cukup untuk membeli beras beberapa liter beras dan beberapa bungkus ikan asin.
Belum cukup untuk membeli daging ayam, walau hanya sepotong paha saja. Teguh
melihat penjual daging ayam yang tengah sibuk melayani pembeli. Ia menelan
ludah. Ingin rasanya membeli sedikit daging itu.
Uang hasil penjualan kayu bakar akan
langsung habis jika digunakan untuk membeli sepotong daging. Lalu uang untuk
membeli beras bagaimana? Teguh bimbang. Ia ingin membeli daging ayam untuk
ketiga adiknya, namun ia juga butuh beras untuk makan hari ini. Teguh menarik
napas memantapkan hati. Ia akan mencoba membeli daging ayam dengan uang di
tangannya. Semoga saja masih ada sisa
uang barang sedikit.
“Bu, beli daging ayam,” kata Teguh
sambil menyodorkan uang di tangannya.
Ibu
itu menerima uang dari tangan Teguh dan menghitungnya.
“Masih belum cukup Dik.”
“Uang itu bisa dapat berapa, Bu?”
“Wah… nggak bisa ya. Harga ayam
sekarang naik. Apa-apa serba naik. Uang ini nggak cukup. Sepotong paha ini saja
masih kurang,” kata Ibu Penjual Daging Ayam sambil menunjuk potongan kecil paha
ayam.
“Tapi Bu… saya ingin beli…”
“Bilang sama ibumu, uangnya belum cukup.”
Ibu itu kembali sibuk memotong daging ayam jualannya. Teguh menggenggam uang di
tangannya sambil matanya terus menatap daging ayam itu. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin. Sudah saatnya gizi ketiga adiknya
sedikit mendapat perbaikan. Hari ini
harus makan daging.
Teguh masih berdiri mematung menatap
penjual ayam dari kejauhan. Pasar semakin ramai. Penjual daging ayam itu
semakin ramai dikunjungi pembeli. Teguh kembali menelan ludah. Mengambil
sepotong kecil daging ayam bukan masalah untuk Ibu itu. Teguh berjalan pelan
mendekati penjual daging ayam. Menyelinap diam-diam dan bersiap mengambil
sepotong ceker ayam yang tergeletak di dekat potongan-potongan daging ayam. Daripada dibuang, mending aku ambil.
“Apa yang kau lakukan? Maling ya?”
Ibu penjual daging ayam menangkap basah Teguh yang tengah mengangkat diam-diam
sepotong ceker ayam.
“Maling… maling… Ada maling…” Si Ibu
berteriak-teriak. Refleks Teguh berlari sambil membawa sepotong kaki ayam di
tangan. Pasar tumpah-ruah. Teguh berlari menembus keramaian. Teriakan Ibu
penjual daging ayam membuat beberapa orang mengejar Teguh. Mereka juga
berteriak sama.
“Maling… maliiing…”
Teguh
sudah berlari sekuat ia bisa, namun orang-orang dewasa yang mengejarnya
berhasil menangkapnya. Tanpa dikomando, mereka, orang-orang dewasa itu,
memukuli habis-habisan Teguh, remaja berusia 13 tahun bertubuh kurus. Teguh
berusaha melindungi dirinya. Ia tetap menggenggam sepotong ceker ayam. Orang-orang
dewasa itu begitu bersemangat menghajar remaja tanggung yang menanggung hidup
tiga adiknya.
Tubuhnya sakit. Tubuhnya perih.
Darah mengalir dari pelipisnya. Teguh melihat Ibu. Ibu yang berdiri sambil
tersenyum bercahaya.
“Kemarilah Nak. Ibu rindu sekali
padamu.”
Yogya,
23 April 2013